Jumat, 19 Juni 2009

Energi alternatif

MENDONGKRAK PENYALAHGUNAAN LIMBAH MINYAK JELANTAH DENGAN TEKNOLOGI TRANS ESTERIFIKASI
oleh : Novembri Cucu Sektiani Agustin (L2C 308 027)

Minyak goreng bekas atau yang sering disebut dengan minyak jelantah merupakan salah satu jenis limbah cair. Pemahaman bahwa minyak jelantah merupakan limbah cair masih dianggap awam bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena dampak dari penyalahgunaan minyak jelantah sebagai bahan pengolah makanan, tidaklah terlihat secara langsung. Padahal perlu diketahui bahwa di dalam minyak jelantah mengandung senyawa – senyawa yang bersifat karsiogenik, yang terjadi selama proses penggorengan seperti senyawa benzene dan peroksida. Senyawa benzene merupakan zat penyebab kanker. Senyawa ini mengandung dioksin yang dapat masuk melalui sel – sel tubuh. Jadi pemakaian minyak jelantah untuk penggorengan makanan yang dikonsumsi manusia, sama bahayanya dengan pemakaian formalin, sejenis bahan pengawet. Selain itu, di dalam minyak jelantah juga terkandung banyak kolesterol. Jika dikonsumsi secara terus – menerus akan menyebabkan penumpukan kolesterol pada pembuluh darah, sehingga muncul gangguan penyakit jantung.
Sementara di Indonesia, penyalahgunaan minyak jelantah masih sangat umum dilakukan dan dianggap bukanlah bentuk penyalahgunaan. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap enteng akan bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan minyak jelantah. Mereka beranggapan bahwa minyak jelantah toh masih bisa digunakan untuk menggoreng. Selain itu mereka masih mengganggap bahwa penyakit yang diderita oleh manusia merupakan takdir. Hal ini sering terlontar dari ungkapan ” kalau memang takdirnya sehat, ya sehat aja dan kalau takdirnya sakit, ya sakit aja”. Apalagi dengan meningkatnya harga minyak goreng baru – baru ini, mengakibatkan semakin sulitnya menghindari tidak menggunakan minyak jelantah sebagai bahan pengolah makanan karena alasan ekonomi. Bagi pedagang gorengan, penggunaan minyak jelantah merupakan bentuk penekanan biaya produksi. Sedangkan bagi ibu – ibu rumah tangga, penggunaan minyak jelantah merupakan bentuk penghematan terhadap pengeluaran keluarga.
Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, permasalahan tentang penyalahgunaan minyak jelantah sebagai bahan pengolah makanan dapat diselesaikan dengan bijaksana. Artinya, masyarakat tidak perlu membuang minyak jelantah begitu saja ke lingkungan untuk mencegah terjadinya gangguan pada kesehatan tetapi masyarakat bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang berguna. Menurut penelitian, minyak jelantah dapat dikonversi menjadi biodiesel melalui teknologi trans esterifikasi. Pada prinsipnya, teknologi trans esterifikasi adalah mengeluarkan gliserin dari minyak jelantah dan mereaksikan asam lemak bebasnya dengan alkohol (misalnya metanol) menjadi alkohol ester dengan bantuan katalis basa. Senyawa alkil ester inilah yang disebut biodiesel (AME = Altfett Methyl Ester).
NaOHH O
H – C – O – C – R1 H
O H – C – OH O
H – C – O – C – R2 + 3 CH3 – OH H – C – OH + 3 CH3 – O – C – R
O H – C – OH
H – C – O – C – R3 H
H
Trigliserida Methanol Gliserin AME

gambar 1. Skema Reaksi Kimia Trans Esterifikasi pada Minyak Jelantah

Teknologi trans esterifikasi ini ternyata bukanlah sesuatu yang sulit. Setiap orang dapat melakukannya dengan mudah. Selain itu, biodiesel yang dihasilkan dapat digunakan sebagai salah satu pengganti minyak solar / minyak diesel, baik untuk bahan bakar transportasi maupun industri. Sedangkan gliserin yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pupuk organik.
Adapun tahapan proses trans esterifikasi secara sederhana untuk skala laboratorium, antara lain :
1. Penyaringan
Penyaringan dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel berukuran besar atau pengotor yang ada pada minyak. Minyak dipanaskan terlebih dahulu pada suhu sekitar 30-35 oC lalu disaring dengan menggunakan saringan kopi atau teh, atau bisa juga menggunakan kain.
2. Penghilangan air
Penghilangan air dalam minyak dilakukan dengan memanaskan minyak pada temperatur 120oC sampai tidak ada lagi gelembung. Lalu minyak tersebut didinginkan.
3. Pengambilan sampel
Sampel dari bahan baku minyak bekas yang telah mengalami proses penghilangan air, diambil 1 mL untuk titrasi.
4. Titrasi
Titrasi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak jumlah NaOH yang harus ditambahkan. Untuk bahan baku minyak baru, langkah titrasi ini tidak diperlukan. Satu mililiter sampel minyak bekas dilarutkan dalam 10 mL isopropil alkohol, kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 %. Larutan ditambahkan dengan indikator fenolftalin beberapa tetes. Volume NaOH yang diperlukan untuk mengubah warna larutan adalah massa NaOH yang diperlukan.
5. Pembuatan Natrium Metoksida
Untuk pembuatan natrium metoksida, 3,0-3,5 gram NaOH diperlukan untuk bahan baku yang berasal dari minyak baru, dilarutkan dalan gelas kimia yang berisi metanol sebanayak 10% dari volume minyak. Sedangkan untuk minyak bekas, ditambahkan dengan jumlah hasil titrasi. Larutan diaduk dengan bantuan pengaduk magnetik (magnetic stirrer).
6. Reaksi
Reaksi berlangsung selama 50-60 menit pada temperatur konstan dengan tahap-tahap yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a) memanaskan minyak pada temperatur 48-55oC dengan penangas parafin.
b) melakukan pengadukan dengan menggunakan motor pengaduk pada kecepatan 500-600 rpm.
c) setelah 50-60 menit, pemanasan dihentikan, tetapi pengadukan tetap diteruskan selama beberapa menit.
7. Pengendapan
Pengendapan gliserin dilakukan dengan cara membiarkan larutan selama 12-20 jam agar terjadi pemisahan antara gliserin dan produk biodiesel. Pengendapan ini dilakukan dalam ruang pemanas atau inkubator pada temperatur diatas 38oC, untuk menjaga agar gliserin tidak memadat.
8. Pemisahan
Pemisahan gliserin dengan biodiesel dilakukan dengan bantuan corong pemisah. Jika sulit untuk dipisahkan, maka semua larutan disertakan untuk reaksi tahap berikutnya.
9. Pencucian
Pencucian ini bertujuan untuk membersihkan produk biodiesel dari kandungan gliserin, sabun, dan pengotor-pengotor lainnya. Pencucian dilakukan dengan cara menambahkan asam asetat pekat dan aquades pada biodiesel, serta dilakukan dengan bantuan udara tekan atau aerasi selama 5-6 jam. Asam asetat pekat ditambahkan sedikit demi sedikit sampai pH biodiesel netral., sedangkan aquades yang ditambahkan sebanyak ± 50 % dari volume biodiesel. Setalah pencucian selama 5-6 jam, larutan dibiarkan selama 12-24 jam sampai air terpisah dari biodiesel. Kemudian dilakukan pemisahan berdasarkan massa jenis dengan menggunakan corong pemisah.
10. Pengeringan
Pengeringan ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan air dalm biodiesel. Biodiesel dipanaskan pada suhu 100oC sampai tidak ada lagi gelembung air. Kemudian biodiesel didinginkan.
Penggunaan biodiesel dari minyak jelantah sebagai bahan bakar alternatif tidaklah berbeda jauh dengan penggunaan bahan bakar diesel fosil.maupun biodiesel dari minyak nabati baru. Biodiesel telah digunakan di beberapa negara, seperti Brazil dan Amerika sebagai pengganti solar. Biodiesel memiliki angka setana yang lebih tinggi dibandingkan solar sehingga titik penyalaannya terjadi pada suhu rendah. Akibatnya biodiesel mampu mengurangi angka detonasi di dalam mesin. Selain itu, biodiesel mampu menurunkan emisi dari mesin diesel yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia seperti emisi SO2, emisi NO (sebesar ±6%), emisi debu dan pertikulat ( ± 40%) serta gas buang dengan kandungan karbohidrat tak terbakar sebesar ± 25%. Keunggulan lain biodiesel adalah bersifat biodegradable (dapat terurai oleh mikroba – mikroba yang terdapat di lingkungan), merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable), memiliki efek pelumasan terhadap mesin, menurunkan koefisien gesek pompa dan melindungi cam-profile pompa serta dapat meningkatkan pembakaran dalam mesin.
Meskipun penggunaan biodiesel memiliki banyak keuntungan, proses konversi minyak jelantah menjadi biodiesel tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Banyak aspek yang perlu dipertimbangakn dalam mengolah minyak jelantah menjadi biodiesel terutama mengenai sifat kimia yang dikandung minyak jelantah. Minyak jelantah yang mengandung asam lemak bebas (FFA = Free Faty Acid) yang tinggi, apabila ingin dikonversi menjadi biodiesel menyebabkan terbentuknya sabun ketika langsung digunakan katalis basa (KOH atau NaOH). Untuk mengurangi kandungan FFA dalam minyak jelantah, sebaiknya sebelum diolah menjadi biodiesel dilakukan proses acid pretreatment. Acid pretreatment biasanya dengan menggunakan katalis asam (HCl atau H2SO4).
Pada skala kecil atau rumah tangga, pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel dapat dilakukan secara sederhana menggunakan peralatan panci, kompor dan alat pengukur suhu. Pengerjaannya dilakukan secara manual dan batch, tinggal menuang minyak jelantah sesuai tahapan pembuatan biodiesel. Namun, dalam skala industri, pembuatan biodiesel dari minyak jelantah tidaklah sesederhana seperti skala kecil. Terlalu banyak resiko yang bisa muncul karena jumlah minyak jelantah yang diolah relatif banyak. Salah satunya, bisa menimbulkan kecelakaan kerja. Pada skala industri, pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel telah dilakukan oleh PT. Bumi Energi Equatorial (BEE) sejak awal 2005. Industri menggunakan reaktor Trans Esterifikasi dengan sistem komputerisasi sebagai alat pengolah biodiesel. Alat ini terdiri dari drum – drum yang dihubungkan dengan pompa, pipa dan valve serta motor yang disertai tangkai pengaduk dan kompor pemanas.
Saat ini, pemanfaatan biodiesel berbahan minyak jelantah sudah mulai digunakan masyarakat. Salah satunya adalah untuk bahan bakar bus Trans Pakuan di Bogor dan juga untuk penggerak generator listrik dan instalasi lain yang memakai mesin diesel di Hotel Salak Bogor. Sayangnya, produksi biodiesel dari minyak jelantah ini belum mampu mencukupi untuk kebutuhan bahan bakar beberapa unit bus Trans Pakuan. Apalagi bila ditinjau dari perbandingan konsumsi bahan bakar menunjukkan, bahwa secara keseluruhan konsumsi biodiesel 10% lebih tinggi dari konsumsi solar. Untuk mengatasi kekurangan minyak jelantah sebagai bahan baku pembuatan minyak jelantah, pemerintah daerah Kota Bogor telah bekerjasama dengan 22 hotel dan restoran, 1 koperasi dan 68 desa untuk mengumpulkan minyak jelantah. Selain itu, untuk merangsang masyarakat mengumpulkan minyak jelantah, Pemerintah Kota Bogor memberikan insentif sebesar Rp. 2000 / liter dengan harapan masyarakat mau berlomba – lomba mengumpulkan minyak jelantah dan dapat mengurangi dampak penyalahgunaan minyak goreng bekas untuk pengolahan makanan. Kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor ini perlu dicontoh dan dikembangkan di seluruh daerah di Indonesia supaya dampak penyalahgunaan minyak goreng bekas untuk pengolahan makanan dapat dikurangi. Selain itu, hal ini dapat menjadi alternatif mengatasi kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) yang diperkirakan semakin lama akan semakin berkurang dan menjadi habis.
Novembri Cucu Sektiani Agustin, mahasiswa Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. ”Konversi Minyak Jelantah ke Biodiesel”. Dalam www.google.co.id. Konversi minyak jelantah ke Bio diesel - Clubbing.htm, 28 November 2007, 12:36 pm.
Budiono, M. 2008. ”Biodiesel Jelantah”. Dalam Media Komunikasi Petani Tani Merdeka, edisi no. 9 Tahun 1 Juli – Agustus 2008.
Suess, Ananta Andy Anggraini. 2008. ”Biodiesel dari Minyak Jelantah”. Dalam www.google.co.id. PT_ Kreatif Energi Indonesia.htm, 19 Oktober 2008.
Wibowo, Cahyo Setyo. 2008. ”Pengaruh Pencampuran Minyak Solar dengan Biodiesel Terhadap Angka Setananya”. Dalam www.google.co.id. tiki-read_article.php.htm, 2 April 2008, 13:59 WITA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar