Senin, 22 Juni 2009

Eksktrasi Minyak Kardamon (kapulaga)


PROPOSAL PRAKTIKUM
MATA KULIAH PILIHAN MINYAK ATSIRI


I. JUDUL PRAKTIKUM
Pengambilan Minyak Kardamon (Kapulaga) dengan Proses Destilasi
II. LATAR BELAKANG MASALAH
Mulanya masyarakat menganggap minyak wangi sebagai minyak yang dihasilkan oleh tanaman tertentu yang memiliki bau wangi yang khas tanpa mengetahui secara jelas karakteristik minyak tersebut. Kemudian berkembangnya zaman mengubah pandangan masyarakat tentang minyak wangi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa tanaman tertentu mengandung minyak di mana minyak tersebut mudah menguap dan berbau khas sesuai tanaman penghasilnya, sehingga minyak tersebut didefinisikan sebagai minyak volatile (mudah menguap) atau yang terkenal dengan nama minyak atsiri. Minyak atsiri merupakan salah satu hasil sisa metabolisme dalam tanaman yang terbentuk antara berbagai senyawa kimia dengan adanya air. Minyak ini disintesis dalam kelenjar (glandular cel) pada jaringan tanaman dan juga dapat terbentuk dalam pembuluh resin. Minyak atsiri dapat berasal dari berbagai bagian tanaman antara lain daun, bunga, buah, biji, batang, kulit batang dan akar.
Oleh karena semakin berkembangnya istilah minyak atsiri dalam masyarakat mendorong manusia untuk mengupayakan cara mengambil minyak atsiri dari tanaman penghasilnya. Dan dengan adanya kemajuan teknologi melahirkan berbagai metode pengambilan minyak atsiri, salah satunya adalah metode destilasi. Metode ini banyak diterapkan pada minyak yang berasal dari biji, akar, daun, buah, batang dan beberapa bunga. Di Indonesia, metode destilasi dalam pengambilan minyak atsiri dari tanaman terbukti banyak diminati oleh para pengusaha, sehingga minyak atsiri yang beredar dalam perdagangan di Indonesia paling banyak berasal dari bagian tanaman seperti biji, akar, daun, buah, batang dan beberapa bunga.
Salah satu minyak atsiri adalah minyak atsiri yang dihasilkan oleh biji kardamon (kapulaga). Kapulaga merupakan salah satu tanaman rempah-rempah yang banyak diminati masyarakat karena kegunaannya untuk bumbu dapur. Selain itu kapulaga berguna untuk menyembuhkan beberapa penyakit, antara lain menyembuhkan radang lambung. Di Indonesia terdapat dua jenis kapulaga yaitu kapulaga lokal (Amomum Cardamomum) dan kapulaga sabrang (Elettaria Cardamomum). Minyak kapulaga ini dapat diambil dari biji tanaman kapulaga dengan cara destilasi. Metode ini adalah metode yang tepat mengingat bahwa minyak ini berasal dari biji-bijian.
III. PERUMUSAN MASALAH
Praktikum tentang pengambilan minyak kardamon (kapulaga) dengan proses destilasi telah berkembang di Indonesia tetapi belum menunjukkan usaha yang maksimum. Adapun perumusan masalah yang akan diambil dalam praktikum ini adalah :
3.1 Bagaimana cara mengambil kandungan minyak atsiri dalam biji tanaman kapulaga jenis Amomum Cardamomum dan jenis Elettaria Cardamomum dengan proses distilasi atmospheric dengan pelarut air.
3.2 Berapa perbandingan rendemen minyak atsiri yang dihasilkan dari biji kapulaga jenis Amomum Cardamomum dan jenis Elettaria Cardamomum dengan proses distilasi atmospheric dengan pelarut air.
3.3 Bagaimana kualitas minyak atsiri yang dihasilkan oleh biji kapulaga jenis Amomum Cardamomum dan jenis Elettaria Cardamomum bila ditinjau dari sifat fisik (organoleptik), bobot jenis dan indeks bias.
IV. TUJUAN PRAKTIKUM
Praktikum pengambilan minyak kardamon (kapulaga) dengan destilasi atmospheric bertujuan untuk :
4.1 Mengetahui cara mengambil kandungan minyak atsiri dalam biji tanaman kapulaga jenis Amomum Cardamomum dan jenis Elettaria Cardamomum dengan proses distilasi atmospheric dengan pelarut air.
4.2 Mengetahui perbandingan rendemen minyak atsiri yang dihasilkan dari biji kapulaga jenis Amomum Cardamomum dan jenis Elettaria Cardamomum dengan proses distilasi atmospheric dengan pelarut air.
4.3 Mengetahui kualitas minyak atsiri yang dihasilkan oleh biji kapulaga jenis Amomum Cardamomum dan jenis Elettaria Cardamomum bila ditinjau dari sifat fisik (organoleptik), bobot jenis dan indeks bias.
V. LUARAN YANG DIHARAPKAN
Luaran praktikum ini adalah memberikan informasi mengenai cara yang tepat dalam mengambil kandungan minyak atsiri dari biji kapulaga dengan destilasi atmospheric dan memberikan informasi mengenai rendemen minyak atsiri yang dihasilkan dan kualitas minyak, sehingga usaha ini dapat diaplikasikan secara komersial.
VI. MANFAAT PRAKTIKUM
Praktikum pengambilan minyak kardamon (kapulaga) dengan destilasi atmospheric bermanfaat untuk mengaplikasikan kegunaan lain kapulaga dalam dunia perdagangan dan industri serta ilmu pengetahuan terutama ilmu di bidang teknik kimia. Selain itu bermanfaat untuk dasar praktikum analisa kandungan kimia minyak atsiri berikutnya.
VII. TINJAUAN PUSTAKA
6.1. Sejarah dan Negara Penghasil Tanaman Kapulaga
6.1.1 Sejarah
Kardamon merupakan tumbuhan liar di hutan bercurah hujan tinggi sepanjang sisi barat Ghats di Selatan India dan juga Srilanka hingga sampai tahun 1800 kebutuhan dunia akan kapulaga dipasok dari hutan ini dan juga dari penanaman sekitar daerah tersebut
Kapulaga mulai diperdagangkan pada abad IV SM di Yunani.Kualitas yang kurang baik dikenal dengan nama amomum, sedangkan kapulaga kualitas terbaik dinamakan kardamon.Kapulaga dengan kualitas paling baik dan paling mahal dihasilkan di Negara Nepal dengan ciri khas:berukuran besar,berwarna hitam,berbau harum dan berbentuk agak pipih.
Pada abad I M,Roma merupakan negara terpenting yang mendatangkan rempah ini dalam jumlah besar.Kapulaga merupakan satu-satunya rempah dari Timur yang dikenal sebagai bumbu dapur.5 abad kemudian kardamon paling baik adalah yang didatangkan dari Amerika,Bosporus dan Commangene.
Menurut sejarah,kardamon merupakan rempah-rempah yang memiliki sejarah yang panjang.Hal ini dibuktikan bahwa rempah jenis ini telah diperdagangkan di India oleh Ibnu Sina pada tahun 980-1037 M.Pada tahun 1154 kapulaga telah dihasilkann di Srilangka.Selain itu,perdagangan kapulaga di Teluk Malabar terjadi sejak tahun 1514 (diriwayatkan oleh petualang Portugis bernama Borbosa).Pada tahun 1563 klasifikasi kapulaga telah ditemukan oleh Gracia da Orta. (ABD Madyo Indo, 1989)

6.1.2 Negara Penghasil
Negara-negara penghasil kapulaga antara lain:
Ø India,contoh:Malabar,Mysore
Ø Srilangka
Ø Tazmania
Ø Guatemala
Ø Papua New Guinea
Ø Thailand
Ø Etiopia
Ø Nepal
(ABD Madyo Indo, 1989)
6.1.3 Keadaan Umum Tanaman
Elettaria cardamomum Maton atau disebut juga Kardamon Malabar ,termasuk golongan Scitamineae famili Zingiberaceae.Tanaman ini mempunyai tinggi mencapai 1-5 m.Tumbuhnya bergerombol dan memiliki banyak anakan. Batang semu yang tersusun oleh pelepah-pelepahdaun,berbentuk silindris dan berwarna hijau. Umbi agak besar dan gemuk. Daun tunggal,tersebar dan hijau tua. Helai daun licin atau agak berbulu,berbentuk lanset atau tombak dengan pangkal dan ujung runcing dan tepi daun rata. Panjang daun sekitar 1-1,5 m. Antar pelepah dan helai daun terdapat lidah yang ujungnya tumpuk.Panjang sekitar 0,5 cm. Akar serabut dan berwarna putih kotor. Rimpang bulat panjang, bercabang simpodial dan berwarna putih kekuningan. Bunga berupa bongkol (bulir) dan berwarna putih kekuningan. Buah berbentuk buah kotak dan terdapat dalam tandan kecil – kecil dan pendek. Buahnya bulat memanjang, berlekuk, agak pipih, kadang berbulu dan berwarna putih kekuningan atau kuning kelabu. Biasanya buah beruang tiga dan tiap ruangnya dipisahkan oleh selaput tipis. Tiap ruang berisi 5 – 7 biji kecil – kecil berbentuk bulat telur dan berwarna cokelat atau hitam.
Amomum Cardamomum termasuk famili Zingiberaceae merupakan semak dan herba, rumput-rumputan tahunan, tinggi lebih kurang 1,5 m. Berbatang semu, bulat, membentuk anakan, warna hijau. Daun tunggal, tersebar, bentuk lanset, ujung runcing, tepi rata, panjang 25-35 cm, lebar 10-12 cm, pertulangan menyirip, warna putih atau putih kekuningan. Letak daun berselang – seling. Bunga majemuk, bentuk bongkol dipangkal batang, mahkota bentuk tabung. Panjang ± 12,5 mm, warna putih atau putih kekuningan. Buah kotak, bulat, berlekuk, warna kuning kelabu. Buahnya berkumpul dalam tandan kecil – kecil dan pendek.Didalamnya terdapat biji yang berbentuk bulat telur memanjang. (ABD Madyo Indo, 1989)
6.1.4 Marga,Jenis dan Varietas Tanaman
Kapulaga(kardamon) termasuk dalam familia(suku) Zingiberaceae/jahe-jahean. Klasifikasi kapulaga yaitu:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Zingiberaceae
Family : Zingiberaceae
Sedangkan klasifikasi kapulaga berdasarkan genus (marga) yaitu ada 4 antara lain:
1. Amomum
Contoh :Amomum acre (Sulawesi),Amomum aculeatum rixb(Jawa Tengah,Jawa Barat),Amomum aromaticum roxb (India),dll
2. Elettaria
Contoh:Elettaria cardamomum maton (Srilangka,India)
3. Aframomum
Contoh :Aframomum angustifolium sonn (Afrika Barat,Afrika Timur),Aframomum danielli (Kamerun),Aframomum granum (Afrika Barat)
4. Zingiber
Contoh: Zingiber ningrum gaertn (Cina Tenggara).
(ABD Madyo Indo, 1989)
6.1.5 Habitat Tanaman
Kapulaga tumbuh liar dihutan primer dan hutan jati, didaerah pegunungan rendah dan tanahnya agak basah, bercurah hujan tinggi atau didaerah yang selalu berawan, pada ketinggian 200 - 1000 m diatas permukaan laut. Kapulaga tumbuh subur dibawah naungan pohon-pohon kayu hutan, ditempat-tempat yang sangat terlindung. Tanah tempat tumbuh penuh dengan daun, ranting atau bagian pokok kayu hutan yang telah lapuk dan rusak yang sebelumnya telah lama berguguran.
Pada Elettaria kardamomum , habitat yang paling sesuai adalah tanah-tanah pegunungan yang tinggi yang puncaknya terus-menerus diliputi awan, iklimnya lembab, turun hujan melimpah rata-rata 9 bulan dalam setahun, daerahnya lindung dan terbatas disinari matahari
Menurut pengalaman penanam-penanam di Srilangka, tanah yang subur, kaya humus, liat, merupakan syarat bagi keberhasilan tanaman dan paling banyak memperoleh hasil panen. (www.indomedia. com/intisari/1998)
6.2. Minyak Atsiri Kapulaga (Cardamon)
Minyak atsiri atau juga disebut minyak terbang atau minyak eteris merupakan minyak yang mudah menguap atau volatile yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Definisi tersebut bertujuan untuk membedakan minyak nabati dan minyak atsiri yang berbeda tanaman penghasilnya. Selain itu minyak dapat didefiisikan sebagai minyak yang berasal dari tanaman yang mudah rusak lalu ditemukan adanya senyawa yang menguap dan berbau wangi sesuai tanaman tersebut. (Ernest G, 1987)
Sifat-sifat dari minyak atsiri antara lain:
· Mudah menguap pada suhu kamar
· Mempunyai rasa getir (pingent taste)
· Berbau wangi
· Larut dalam pelarut organik
· Tidak larut dalam air
Kegunaan minyak atsiri bagi tanaman kapulaga itu sendiri yaitu dengan adanya fotosintesis C4 dapat meminimumkan fotorespirasi dan meningkatkan produksi gula. Adaptasi ini sangat bermanfaat dalam daerah panas dengan cahaya matahari yang banyak dan di lingkungan seperti inilah tumbuhan C4 muncul dan tumbuh subur. Selain itu, minyak atsiri berguna dalam proses penyerbukan yaitu dengan cara menarik beberapa jenis serangga dengan bau khasnya. Mencegah kerusakan tanaman oleh hewan dan sebagai cadangan makanan bagi tanaman merupakan fungsi lain minyak atsiri bagi tanaman. Sedangkan kegunaan dari minyak kapulaga diantaranya sebagai penambah aroma pada tanaman (zat aditif), campuran jamu atau obat mengurangi sakit perut kembung, radang tenggorokan, suara parau, peluruh kentut, anti batuk, mencegah keropos tulang, rematik, batuk rejan, kejang perut, muntah-muntah, radang lambung (maag), demam, asam urat, pegal linu serta hernia. (Ketaren, 1987)
6.3. Karakteristik Minyak Atsiri Kapulaga (Cardamon)
6.3.1 Sifat Fisika dan Kimia
Minyak Elettaria cardamomum Maton Jenis B-Mayor Thwaites
v Sifat fisika kimia
Minyak jenis ini merupakan cairan agak kental dengan aroma khas kapulaga
Menurut Gildmeister dan Hoffman ,sifat-sifat minyak ini sebagai berikut:
Berat jenis pada 200 : 0,923 – 0,932
Titik didih : 150 – 165 0C
Rendemen minyak : 3,4 – 8 ml tiap 100 gram biji
Kelarutan : keruh dalam 70 % alkohol dapat larut dalam 1-20 volume dan lebih dari 80 % alkohol.
Menurut Sage,sifat-sifat minyak ini sebagai berikut:
Berat jenis pada 15,50 : 0,909
Putaran optik pada 200 : +16030’
Indeks biaspada 250 : 1,474
Bilangan asam : 1,1
Bilangan ester :12
Kelarutan : Larut dalam 1-2,5 volume dari 70% alkohol
v Komposisi kimia
Sabiner: dalam fraksi t.d. 1650-1670 yang disamakan dengan oksidasi menjadi asam sarbinik t,l, 560- 570
Terpinen: melalui hidrogen dengan gas dan fraksi t.d. 1700- 1780 ,t,l, 520 t.d. 1780 - 1820 t,l, 1550
Terpin-4-ol: t.d. 2050- 2200 ,t,l, 590
Terpin-4-il
Minyak Amomum cardamomum
v Sifat fisika kimia
Menurut Schimmel&co , sifat-sifat minyak ini sebagai berikut:
Berat jenis pada 200 : 0,923 – 0,93
Titik didih : 150 – 164 0C
Rendemen minyak : 6,6 – 11,2 ml tiap 100 gram biji
Kelarutan : larut dalam 1,2 volume dari 80 % alkohol.
Menurut Penelitian di Bogor, sifat-sifat minyak ini sebagai berikut:
Berat jenis pada 260 : 0,909
Putaran optik pada : 0020’
Bilangan asam : 0,8
Bilangan penyabunan :14
Kandungan sineol :12%
v Komposisi kimia
Menurut Schimmel&co, minyak ini mengandung d-borneol yang sama denga d-kamfor. Masa yang berhablur halus jika dipisahkan dari minyak mengandung bagian yang sama denga d-borneol dan d-kamfor.
(ABD Madyo Indo, 1989)
6.3.2 Komposisi Kimia
Secara umum minyak kapulaga memiliki komponen – komponen kimia sebagai berikut:
1. Terpineol
2. Borneol
3. Monen
4. Sabinen
5. Sineol
6. β - Kamfer
7. Limonen
8. α – terpinen
9. Protein
10. Gula
11. Lemak
12. Silikat
13. Asetat
14. Oksalat
15. Mirkena
16. Mirtenal
17. Karvona
6.4 Teori Pengambilan Minyak Atsiri dari Biji Kapulaga
6.4.1 Destilasi
Destilasi atau disebut juga dengan penyulingan merupakan suatu teknik pemisahan komponen-komponen suatu campuran dari dua jenis cairan atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut.
Metode destilasi merupakan unit operasi kimia jenis perpindahan massa. Penerapan proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-masing komponen akan menguap pada titik didihnya. Model ideal dari destilasi didasarkan pada Hukum Raoult dan Hukum Dalton. Dimana Hukum Raoult mengatakan bahwa suatu zat menyumbangkan tekanan uap keseluruhan campuran. Dimana hukum ini dapat digambarkan dalam rumus dibawah ini:

PA = XA.PAo Dimana : XA = Fraksi mol A
PA = tekanan uap murni A

Sedangkan untuk Hukum Dalton berbunyi bahwa tekanan uap keseluruhan adalah sama dengan jumlah tekanan uap setiap zat di dalam campuran tersebut. Apabila sistem berbagai zat dipanaskan, tekanan uap setiap zat akan meningkat, yang akan meningkatkan pula tekanan uap keseluruhan. Apabila tekana uap keseluruhan mencapai tekanan ambien maka akan terjadi proses pendidihan dan cairan akan berubah fasa menjadi gas.
Salah satu tujuan dari proses ini adalah untuk mengambil sebagian atau seluruh zat tertentu yang ada dalam bahan tanaman dimana hal ini untuk memudahkan dalam pengaturan dosis, penyimpanannya dan menjaga keawetan bahan tersebut untuk jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan disimpan dalam bentuk bahan mentah.
Secara umum terdapat dua macam sistem penyulingan campuran cairan, yaitu :
· penyulingan dari dua cairan yang tidak saling melarut dan membentuk dua fasa.
Penyulinganjenis ini dilakukan untuk memurnikan dan memisahkan minyak atsiri dengan cara penguapan dengan bantuan uap air.
· Penyulingan dari campuran cairan yang saling melarut secara sempurna dan hanya membentuk satu fasa.
Cara ini dilakukan untuk memurnikan dan memisahkan fraksi-fraksi minyak atsii tanpa menggunakan uap panas. (Ketaren, 1987)
6.4.2 Destilasi Dengan Pelarut Air
Dalam industri minyak atsiri dikenal 3 metode destilasi/ penyulingan, yaitu :
· Penyulingan dengan air (Water Destilation)
· Penyulingan dengan air dan uap (Water and Steam Destilation)
· Penyulingan dengan uap langsung (Steam Destilation)
Kali ini kita akan membahas lebih lanjut mengenai penyulingan dengan air (Water destilation) atau sering disebut juga dengan Hydrodestilation.
Pada proses destilasi dengan air, bahan yang akan didestilasi dikontakkan langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut mengapung diatas air atau terendam secara sempurna, tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang akan didestilasi. Air yang digunakan sebagai pelarut dipanaskan dengan pemanasan yang biasa dilakukan, yaitu dengan panas langsung, mantel uap, pipa uap melingkar tertutup ataupun dengan pipa uap melingkar terbuka atau berlubang. Ciri khas dari metode ini adalah adanya kontak langsung antara bahan dengan air mendidih (pelarut).
Peristiwa pokok yang terjadi pada pross hidrodesttilasi, yaitu:
· Difusi minyak atsiri dan air panasmelalui membrane tanaman (Hydrodifusi)
· Hidrolisa terhadap beberapa komponen minyak atsiri
· Dekomposisi yang biasa disebabkan oleh panas.
a. Hydrodifusi
Proses hydrodiffusi digambarkan oleh Von Rochenberg sebagai berikut:
Pada suhu air mendidih, sebagian minyak atsiri akan larut dalam air yang terdapat dalam kelenjar. Campuran minyak dalam air ini berdifusi keluar dengan peristiwa osmosis, melalui selaput membran yang sedang mekar sampai di permukaan bahan, dan selanjutnya menguap. Untuk mengganti minyak yang diuapkan ini, sejumlah minyak masuk ke dalam larutan dan menembus membran sel bersamaan dengan masuknya air. Proses ini berlangsung terus sampai semua zat menguap didifusikan dari dalam kelenjar minyak dan diuapkan oleh uap air panas.
Fungsi air pada pada proses penyulingan dengan air adalh untuk menambah kecepatan penguapan minyak pada penyulingan, sehingga sistem penyulingan dengan air atau penyulingan dengan air dan uap lebih unggul dibandingkan proses penyulingan dengan uap.


b. Hidrolisa
Hidrolisa didefinisikan sebagai reaksi kimia antara air dengan beberapa persenyawaan dalam minyak atsiri.komponen dalam minyak sebagian terdiri dari ester dan sebagian merupakan ester dari asam organik dan alkohol. Adanya air terutama pada suhu tinggi menyebabkan ester bereaksi dengan air sehingga membentuk asam dan alkohol. Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisa diantaranya adalah :
· Reaksi yang berlangsung tak sempurna. Bila pada permulaan reaksi terdapat ester dan air panas, maka hanya sebagian ester yang terurai sampai keseimbangan tercapai. Sebagai hasilnya didalam campuran tersebut akan terdapat ester, air, alkohol dan asam.
· Jika hanya ada alkohol dan asam pada permulaan reaksi maka keempat persenyawaan tersebut juga terdapat pada saat keseimbangan tercapai.
Akibat yang terjadi pada proses hidrolisa ini adalah hasil rendeman minyak yang dihasilkan akan turun. Proses hidrolisa ini berlangsung secar continue. Reaksi ini tidak selalu lancar karena tergantung dari lamanya kontak antara air dan minyak.
c. Pengaruh panas
Kecepatan diffusi akan bertambah dengan bertambahnya suhu. Kelarutan minyak atsiri dalam air pada umumnya juga akan meningkat dengan kenaikan suhu.
Secara ringkas keterangan dari penyulingan dengan air dapat dilihat pada tabel berikut:

Karakteristik
Keterangan
Type Alat Penyulingan
Sederhana, murah, alat penyuling dapat dipindahkan.
Jenis Bahan
Keuntungan tertinggi didapat terhadap bahan-bahan tertentu, terutama yang dihaluskan,kurang baik untuk bahan yang mengandung konstituen yang dapat disabunkan dan yang larut dalam air serta bertitik didih tinggi.
Keadaan Hasil Rajangan
Hasil yang terbaik diperoleh dari bahan-bahan yang berupa bubuk halus.
Cara Pengisian Bahan
Bahan harus seluruhnya terendam air.
Keadaan Difusi
Baik, jika bahan diisi dengan merata dan dapat bergerak bebas dalam air mendidih.
Tekanan Uap Di Dalam Ketel Penyuling
Sekitar 1 atm
Suhu Dalam Ketel
Sekitar 100oC. Harus hati-hati jangan sampai suhu ketel penyulingan terlalu panas. Air yang menguap harus diganti secara continue.
Hidrolisa Konstituen Minyak
Keadaan biasanya tidak menguntungkan, hidrolisa ester dengan kadar tinggi.
Effisiensi Penyulingan
Relatif rendah
Rendeman Minyak
Pada beberapa hal relatif rendah, karena hidrolisa dan karena konstituen minyak yang bertitik didih tinggi tertinggal dalam air yang ada dalam ketel suling.
Mutu Minyak
Tergantung dari perlakuan, ”penggosongan” isi ketel harus dihindari, terutama bila pemanasan dilakukan dengan api langsung.
Air Suling
Air suling dalam beberapa hal harus kembali, atau lebih baik dikembalikan dalam ketel suling selam penyulingan berlangsung (cohobation). Air suling terutama mengnadung hasil-hasil hidrolisa minyak
(Ketaren, 1987)
6.4.3 Proses Pengambilan Minyak Atsiri Dari Biji Kapulaga
Untuk pengambilan minyak dari biji kapulaga itu sendiri dapat dilakukan dengan beberapa macam cara, yakni dapat dengan penyulingan uap maupun dengan penyulingan air (water destilation).
Pada pengambilan minyak kapulaga ini dilakukan sekitar 4 jam. Fungsinya yaitu untuk menunda seluruh kandungan ester yang terdapat dalam minyak tersebut, dimana seperti dijelaskan sebelumnya bahwa ester ini akan menyebabkan terjadinya proses hidrolisa dan menurunkan hasil rendeman minyak.
Alat yang digunakan pada penyulingan kapulaga harus terbuat dari stainlesss steel atau besi yang tidak berkarat. (Ketaren, 1987)
6.5 Variabel Penentu Rendeman Minyak Atsiri dalam Kapulaga
Rendeman yang dihasilkan pada proses penyulingan minyak kapulaga dapat berubah-ubah, karena hasil rendeman ini bergantung dari beberapa faktor diantaranya kondisi bahan yang akan disuling, penanganan pendahuluan terhadap kapulaga sebelum proses (pretreatment) dan kondisi saat proses penyulingan berlangsung.

6.5.1 Bahan
Kapulaga yang akan diolah harus melewati proses pemilihan terlebih dahulu. Bahan yang akan digunakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar nantinya minyak yang dihasilkan dapat seoptimal mungkin. Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah :
· Bahan harus diperoleh dari buah yang sudah dikeringkan dari hasil panen yang terbaru
· Buah yang digunakan sebaiknya yang belum mengalami proses pemutihan, karena buah yang belum diputihkan menghasilkan minyak yang lebih banyak daripada buah yang sudah diputihkan.
· Biji yang akan di proses sebaiknya jangan sampai terkelupas terlebih dahulu karena biji yang belum dikupas akan menghasilkan minyak yang lebih banyak.
· Biji-biji kapulaga yang diperdagangkan dalam keadaan sudah dikupas kurang menghasilkan minyak dibandingkan dengan yang baru dikupas, karena biji-biji yang diperdagangkan biasanya tidak berkulit lagi.
· Dalam masa penyimpanan selama 8 bulan, minyak atsiri dari biji yang sudah dikupas sekitar 30 %
· Kapsul dan buahnya harus tertutup rapat dan harus sebanyak mungkin berisi biji.
6.5.2 Pretreatment
Penanganan pendahuluan pada bahan-bahan yang akan disuling (kapulaga) sangat berpengaruh pada hasil minyak yang akan dihasilkan. Untuk kapulaga sendiri, sebelum diolahjuga mengalami proses pretreatment. Proses pretreatment tersebut adalah sebagai berikut :
· Buah yang akan diproses harus dikeringkan terlebih dahulu setelah dipetik.
· Buah-buah tersebut harus dijaga agar tidak pecah kulitnya, karena bila kulitnya terkelupas maka akan terjadi kehilangan minyak, seperti yang diketahui bahwa minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap, sehingga bila buah tersebut telah terkelupas kulitnnya hasil rendemannya akan berkurang.
· Biji-biji yang akan diproses harus masih utuh dalam kapsulnya. Hal ini seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa bila biji-biji nya telah keluar dari kapsulnya maka hasil rendeman minyaknya akan berkurang.
· Sesaat sebelum diproses biji-biji kapulaga mengalami proses pelumatan. Proses pelumatan ini dilakukan untuk membuka sel-sel dari biji kapulaga sehingga minyaknya akan mudah kontak dengan pelarut saat proses penyulingan berlangsung, terutama untuk penyulingan dengan air.
6.5.3 Proses destilasi
a. Suhu
Pada proses pengolahan minyak atsiri tidak boleh menggunakan suhu yang terlalu tinggi karena akan dapat merusak minyak yang dihasilkan, boleh menggunkan suhu yang tinggi namun harus dalam waktu yang singkat.
Untuk proses penyulingan dengan menggunakan air, suhu yang digunakan tergantung dari tekanan yang digunakan. Untuk tekanan vaccum maka suhu nya tidak terlalu bermasalah karena pada tekanan vaccum suhu akan turun sehingga tidak akanmerusak minyak. Namun ada tekanan atmospher suhu yang digunakan harus dijaga yakni sekitar 100oC, karena pada suhu ini air sebagai pelarut telah mendidih.
b. Tekanan
Tekanan yang baik pada proses penyulingan adalah pada tekanan vaccum. Karena pada tekanan ini suhu juga akan turun, ini mengikuti persamaan gas ideal, bila suhu rendah maka idak akanmerusak minyak dan waktu proses dapat berjalan lebih lama sehingga minyak yang diperoleh juga akan lebih banyak.
6.6 Uji Kualitas Minyak Kapulaga Secara Teoritis
Setelah mendapatkan minyak dari proses destilasi, maka minyak harus dianalisa untuk mengetahui apakah minyak yang dihasilkan telah sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan.


6.6.1 Bobot Jenis
Bobot jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan kemurnian minyak atsiri. Dari seluruh sifat fisika kimia, nilai bobot jenis sering ditampilkan.
Nilai BJ untuk minyak atsiri secra umum adalah sekitar 0,696-1,188 pada suhu 15oC. Sedangkan untuk minyak kapulaga mempunyai BJ sekitar 0.909 pada suhu 26oC untuk Amomum Cardamomum dan 0,895-0,906 pada suhu 15oC untuk kapulaga jenis Elettaria Cardamomum.
Untuk mengukur bobot jenis dari minyak dapat digunakan piknometer. Piknometer merupakan alat penetapan bobot jenis yang praktis yang dapat digunakan. Bentuk kerucut piknometer bervolume sekitar 10 ml dilengkapi dengan sebuah termometerdan sebuah kapiler dengan gelas penutup.
Penggunaan tabung Sprengel dan Ostwald memberikan hasil yang lebih teliti dan dapat digunakan, namun pengerjaannya tidak dapat dilakukan dengan cepat. Pembersihan tabung-tabung tersebut biasanya lebih sukardan memakan waktu. Tabung Sprengel kecil atau bobot jenis Gay Lussac yang berkapasitas sekitar 2 ml menghasilkan nilai yang lebih teliti jika hanya menggunakan sejumlah kecil minyak.
Prosedur penetapan BJ :
· Bersihkan piknometer dengan mengisikan larutan kromium trioksida jenuh dalam asam sulfat selama 3 hari
· Kosongkan piknometer dan basuh dengan air suling
· Isi piknometer dengan air suling yang mempunyai suhu 12oC. Air suling yang digunakan sebelumnya telah didihkan dan disimpan pada pendingan yang bersuhu 12oC.
· Naikkan suhu secara perlahan-lahan sampai 15oC.
· Atur permukaan air sampai puncak kapiler dan buang kelebihannya dengan kain, kemudian letakkan gelas penutup bagian bawah pada tempatnya.
· Pindahkan piknometer dari penangas air, keringkan dengan kain bersih
· Diamkan selama 30 menit dan tmbang dengan teliti.
· Kosongkan piknometer, basuh beberapa kali dengan alkohol dan akhiri dengan eter
· Pisahkan bagian eternya dengan meniupkan udara dan diamkan piknometer sampai kering
· Timbang dengan teliti setelah 30 menit.
· Water equivalent = berat piknometer yang diisi penuh – berat piknometer kosong.
· Bersihkan dan keringkan piknometer dengan minyak pada suhu 12oC
· Berdasarkan prosedur yang sama masukkan piknometer ke penangas air dan hangatkan pelan-pelan sampai suhu 15oC.
· Aturlah penambahan minyak atsiri sampai mencapai permukaan tertentu dan pasangkan tutup pada tempatnya kemudian eringkan piknometer dengan cara mengelap
· Setelah 30 menit, timbang dengan teliti.
· BJ 15o/15o = berat minyak dlm piknometer : water equivalent
6.6.2 Indeks Bias
Refraktometer merupakan alat yang tepat dan cepat untuk menetapkan nilai indeks bias. Dari beberapa tipe refraktometer yang dianggap paling baik adalah refraktometer Pulfrich dan Abbe. Type Abbe dengan kisaran 1,3-1,7 digunakan untuk analisa minyak atsiri secara rutin. Pembacaan dapat langsung dilakukan tanpa menggunakan tabel konversi, minyak yang diperlukan hanya berjumlah 1-2 tetes dan suhu saat pembacaan dilakukan, dapat diatur dengan baik.
Dalam menentukan indeks bias minyak harus dijauhkan dari panas dan cuaca lembab sebab udara dapat berkondensasi pada permukaan prisma yang dingin. Akibatnya akan timbul kabut pemisah antara prisma gelap dan terang sehingga garis pembagi tidak tetrlihat jelas. Jiak minyak mengandung air maka garis pembatas akan terlihat jelas tetapi nilai indeks biasnya akan menjadi rendah.
Prosedur penentuan indeks bias:
· Tempatkan alat sedemikian rupa sehingga intensitas sinar matahari atau sinar buatan dapat ditangkap.
· Alirkan air pada suhu 20oC pada prisma.
· Bersihkan prisma dengan alkohol dan eter.
· Untuk merapatkan prisma yang kedua dilakukan dengan menggunakan skrup dan tempatkan contoh dalam prisma atau dengan sedikit membuka prisma memutar sekrup dan menuangkan contoh kedalamnya sampai memenuhi prisma
· Kemudian tutup rapat prisma dengan sekrup
· Biarkan alat beberapa menit sebelum pembacaan dilakkukan agar supaya suhu alat dan bahan menjadi sama.
· Gerakkan alidade mundur atau maju sampai bayangan bidang berubah dari terang menjadi gelap.
· Garis pembagi disebut garis batas (border line), dan menurut ketentuan garis itu tidak terlihat tajam tapi hanya merupakan pita warna. Warna dieliminir dengan memutar sekrup kompensator sampai menjadi mantap sehingga diperoleh garis tidak berwarna.
· Atur garis pembatas sehingga diperoleh garis pemisah seperti rambut
· Nilai indeks bias dari bahan dapat dibaca langsung dan pembacaan kedua dilakukan beberapa menit kemudian supaya tercapai suhu yang setimbang.
6.6.3 Organoleptik
Uji organoleptik dapat dilakukan dengan menggunakan panca indera yang dimiliki oleh praktikan. Uji organoleptik dapat meliputi uji warna, rasa dan bau. (Ketaren, 1987)
VIII. METODOLOGI PELAKSANAAN PRAKTIKUM
1. Bahan dan Alat yang digunakan
Bahan Baku :
1. Kapulaga jenis Eletaria sebesar 1,5 Kg
2. Kapulaga jenis Amomum sebesar 1,5 Kg
Bahan pembantu :
1. Air
2. Gibs (CuSO4.2H2O)
3. Vaselin
4. Oli
Alat yang digunakan
1. Labu leher tiga
2. Penangas oli
3. Pisau
4. Multi tube
5. Selang karet / plastik
6. Pendingin Liebig
7. Adaptor
8. Thermometer
9. Sendok plastik
10. Timbangan
11. Pemanas listrik
12. Klem, statif
13. Gelas ukur
14. Erlenmeyer
15. Bekker gelas
16. Piknometer
17. Corong pemisah
18. Stamper dan mortir / juicer
19. Mangkok plastik
20. Reflaktometer
21. Gabus kayu

2. Variabel Yang Diamati
Variabel Tetap
Variabel Tetap yang digunakan adalah :
1. Jumlah bahan baku yang digunakan = 1 kg
2. Jumlah jenis pelarut yang digunakan = 350 ml x 4 kali praktikum
3. Jenis pelarut = air
4. Tekanan proses = 1 atm
Variabel Bebas
Variabel bebas yang diamati adalah :
1. Jenis bahan baku =Amomum Cardamomum, Elettaria Cardamomum
3. Prosedur Kerja
Penanganan Pendahuluan
1. Mengambil 2 jenis buah kapulaga kering Amomum Cardamomum dan Elettaria Cardamomum.
2. Melepaskan biji-biji dari kulit dan kapsulnya.
3. Menimbang 1 kg biji kapulaga kering jenis Amomum Cardamomum dan kapulaga jenis Elettaria Cardamomum yang sudah dikupas kulitnya.
4. Menggiling dan menumbuk biji kapulaga hingga halus dan lumat kemudian segera memasukkannya ke dalam labu leher tiga.
Proses Destilasi Atmospheric
1. Memasukkan 250 gram biji kapulaga Amomum Cardamomum yang sudah dihaluskan ke dalam labu leher tiga.
2. Mengukur 350 ml air lalu memasukkannya ke dalam labu leher tiga bersama dengan biji kapulaga.
3. Merangkai peralatan destilasi.
4. Melarutkan gibs dengan aquadest hingga membentuk larutan kental.
5. Menempelkan gibs pada setiap sambungan pada peralatan destilasi.
6. Membuka kran air dan menyalakan pemanas listrik.
7. Mengamati proses destilasi hingga terjadi tetes pertama air..
8. Mengamati proses destilasi hingga terjadi tetes pertama minyak dan mencatat suhu campuran air – kapulaga dan waktunya.
9. Mengamati proses destilasi hingga terjadi tetes terakhir minyak dan mencatat suhu campuran air - kapulaga dan waktunya.
10. Mengulangi praktikum sebanyak 4 kali dengan jenis kapulaga yang sama.
11. Mengulangi kegiatan no. 1 s/d 10 untuk biji kapulaga jenis Elettaria Cardamomum.
Pemisahan Minyak dan Air
Cara pengambilan atau pemisahan minyak dengan air, digunakan alat yang dinamakan corong pemisah, sehingga dalam corong tersebut terdapat dua lapisan dimana lapisan tersebut adalah lapisan atas dinamakan minyak dan lapisan bawahnya air,sehingga dapat dipisahkan.
Menghitung rendemen minyak kapulaga
1. Mengukur volume minyak yang dihasilkan dari 1 kg biji kapulaga baik jenis Amomum Cardamomum maupun jenis Elettaria Cardamomum.
2. Menghitung berat minyak kapulaga yang dihasilkan dengan persamaan:
3. Menghitung rendemen minyak dengan persamaan :
Uji kualitas
Uji kualitas ini dapat dilihat dengan cara :


Ø Indeks Bias
Dalam menentukan indeks bias, alat yang digunakan adalah Refraktometer. Dalam penentuan indeks bias, harus dijaga agar minyak dijauhkan dari panas dan cuaca lembab sebab udara dapat berkondensasi pada permukaan prisma yang dingin sehingga akan timbul kabut pemisah antara prisma gelap dan terang sehingga garis pembagi tidak terlihat jelas. Jika minyak mengandung air, maka garis pembatas akan kelihatan lebih tajam , tetapi nilai indeks biasnya akan menjadi kecil.
Ø Organoleptik
Dalam uji organoleptik digunakan pancaindera mata, lidah dan hidung untuk mengamati warna, rasa dan bau minyak kapulaga.
Ø Bobot jenis
1. Menimbang 2 buah piknometer kosong lalu mengisinya dengan minyak kapulaga jenis Amomum Cardamomum dan Elettaria Cardamomum, lalu menimbang piknometer tersebut.
2. Menghitung densitas minyak dengan persamaan:
IX. RENCANA KEGIATAN PRAKTIKUM
1. Waktu Pelaksanaan
Praktikum akan dilakukan pada akhir bulan September sampai dengan awal bulan Oktober 2007 pada semester V.
2. Lokasi Pelaksanaan
Praktikum Mata Kuliah Pilihan Minyak Atsiri akan dilakukan di Laboratorium PSD III Teknik Kimia Universitas Diponegoro.
X. RENCANA ANGGARAN
1. Pembelian bahan baku
Kapulaga Amomum Cardamomun = Rp. 50.000,
Kapulaga Elettaria Cardamomum = Rp. 200.000
2. Pembuatan Laporan = Rp. 50.000,
3. Transportasi dan lain-lain = Rp. 50.000,
Total biaya = Rp. 350.000,
XI. ORGANISASI PRAKTIKUM
Praktikum Mata Kuliah Pilihan Minyak Atsiri akan dilaksanakan oleh mahasiswa Program Studi Diploma III Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang, yaitu atas nama :
1. Nia Nihayati L0C 005 251
2. Novembri Cucu Sektiani Agustin L0C 005 257
3. Siti Rahayu Utami L0C 005 283
4. Siti Yulaikhah L0C 005 284
Demikian usulan kegiatan praktikum ini kami ajukan agar dapat disetujui dan dilaksanakan dengan sebaik – baiknya.

Semarang, 2007

Praktikan I Praktikan II

Nia Nihayati Novembri Cucu Sektiani Agustin
NIM. L0C 005 251 NIM. L0C 005 257




Praktikan III Praktikan IV

Siti Rahayu Utami Siti Yulaikhah
NIM. L0C 005 283 NIM. L0C 005 284





Menyetujui,
Ketua Laboratorium MKP Dosen Pembimbing


Ir. Hj. Wahyuningsih, M.Si Ir. H. Munawar
NIP. 131 601 418 NIP. 130 799 704



DAFTAR PUSTAKA


Ernest, Guenther. 1987. The Esential Oils. New York : D. Van Norstrand Company Inc.
Indo, ABD. Madjo. 1989. Kapulaga Budidaya Pengolahan dan Pemasaran. Jakarta : Penebar Swadaya.
Ketaren, S. 1987. Minyak Atsiri. Jakarta : Universitas Indonesia.
www.indomedia. com/intisari/1998/november/teks_flora_nov 98.htm. ”Bertanam Kapulaga”.
http : // iptek.apjii.or.id/artikel/ttg_tanaman obat/unas/kapulaga.
http : //cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx. ” Khasiat Kapulaga”.
http: //nebulaphoenix.blogspot.com/2007/06/kapulaga.htm. ”Elettaria Cardamomum Wild”..
http : //www.iptek.net.id/ind/pd.tanobat/view.php. ” Tanaman Obat”
www.google. co.id. 2007. ” Artikel Karakteristik dan Kegunaan Kapulaga”.
www.google. co. id. 2007. ” Artikel Minyak kapulaga

PRA RANCANG PABRIK PHTHALIC ANHYDRIDE



TUGAS PERANCANGAN PROSES KIMIA




PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN PHTHALIC ANHYDRIDE (PA) DENGAN PROSES OKSIDASI


Disusun Oleh:

Nama : Novembri Cucu Sektiani Agustin
NIM :L2C 308 027
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG

FLOWSHEET PRA RANCANG


DESKRIPSI PROSES

Menurut Speight (2002), Phthalic Anhydride (PA) dibuat dengan menggunakan proses oksidasi o-xylene dan oksigen. Reaksi pembuatan Phthalic Anhydride ada 3 buah yaitu 1 reaksi utama dan 2 rekasi samping. Reaksi – reaksi yang terjadi antara lain :
1. Reaksi Utama (Konversi = 70,58%)

Reaksi (1) : C8H10 + 3 O2 C8H4O3 + 3 H2O
O-xylene Oksigen Phthalic Anhydride Air

2. Reaksi Samping
· Konversi = 6,55%

Reaksi (2) : C8H10 + 7,5 O2 C4H2O3 + 4 CO2 + 4 H2O
O-xylene Oksigen Maleic Anhydride Karbondioksida Air

· Konversi = 21,91%
Reaksi (3) : C8H10 + 10,45 O2 0,1CO + 7,9 CO2 + 5 H2O
O-xylene Oksigen Karbon monoksida Karbondioksida Air

Tahapan proses pembuatan Phthalic Anhydride (PA) secara umum dapat dibedakan menjadi 3 tahap, yaitu :
1. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan adalah larutan o-ylene dan udara. Pada tahap ini, bahan baku diperlakukan supaya memenuhi spesifikasi reaktor dan kondisi operasi reaktor. Spesifikasi yang diinginkan reaktor yaitu :
· Reaksi dioperasikan pada suhu isotermal = 380oC
· Pressure drop = 0,1 bar
· Fase reaksi = uap
· Reaksi berjalan = eksotermal
2. Reaksi Oksidasi
Reaksi oksidasi terjadi pada reaktor equilibrium antara oksigen dan o-xylene. Pada tahap ini merupakan tahapan ini dari proses pembuatan Phthalic Anhydride (PA). Hasil reaksi berupa PA (Phthalic Anhydride), MA(Maleic Anhydride), karbon dioksida, karbon monoksida, air dan sisa reaktan selanjutnya akan diolah untuk memisahkan produk utama () dari produk samping dan sisa reaktan.


3. Proses Separasi
Tahap separasi yang digunakan yaitu pemisahan menggunakan proses flashing, scrubbing dan stripping. Ketiga tahapan ini memiliki tujuan yang berbeda-beda, yaitu :
· Flashing
Flashing merupakan proses pemisahan campuran cair-uap untuk memisahkan hasil reaksi yang berupa fase cair dan hasil reaksi yang berupa hasil uap.
· Scrubbing
Merupakan proses pemisahan secara absorpsi. Proses absorpsi merupakan pemisahan komponen dalam fase gas dalam campurannya (gas yang ingin dipisahkan memiliki konsentrasi yang kecil dalam campurannya).
· Stripping
Merupakan proses pelucutan komponen cair dari campurannya berdasarkan titik didih larutan murninya.

DESKRIPSI PROSES
1. Persiapan Bahan Baku
Umpan berupa o-xylene cair dengan laju alir 1.905 kg/jam dipompa menggunakan P-01 pada suhu 20oC dan tekanan 1,013 bar absolut menuju mixer untuk dicampur dengan bahan baku udara. Umpan berupa udara (mengandung O2= 8995 kg/jam dan N2= 29622 kg/jam) masuk ke dalam kompressor C-01 pada suhu 20o C dan tekanan 4,013 bar untuk dinaikkan tekanannya. Umpan udara keluar dari kompressor C-01 dengan suhu 75,4327oC dan tekanan 1,6 bar masuk menuju pemanas udara E-01 untuk dinaikkan suhunya supaya sesuai dengan spesifikasi reaktor. Selanjutnya umpan udara dengan suhu 180oC dan tekanan 1,3 bar masuk ke dalam mixer. Hasil keluar mixer berupa campuran o-xylene dan udara dalam fasa uap dengan suhu 150,9201oC dan tekanan 1,3 bar.
2. Reaksi Oksidasi
Umpan berupa campuran o-xylene dan udara dari mixer masuk menuju reaktor oksidasi. Di dalam rekator ini terjadi reaksi oksidasi secara eksotermal dan proses dijaga pada keadaan isotermal pada suhu 380oC dan pressure drop sebesar 0,1. Hasil reaksi berupa campuran fasa uap yang terdiri dari PA (Phthalic Anhydride), MA(Maleic Anhydride), karbon dioksida, karbon monoksida, air dan sisa reaktan (nitrogen, oksigen dan o-xylene). Hasil reaksi ini kemudian diturunkan suhunya menggunakan kondensor E-02 untuk mengkondensasi (mengubah fasa) hasil reaksi. Keluar dari kondensor E-02, hasil reaksi berupa campuran cair-uap pada suhu 130oC dan tekanan 1,15 bar dan memiliki konsentrasi uap sebesar 99,29792% berat.
3. Proses Separasi
Tahapan proses separasi ada 3, antara lain :
1) Flashing
Proses flashing dilakukan melalui 2 tahap yaitu dalam F-01 dan F-02. Pada tahap ini, hasil reaksi yang masih mengandung uap sebesar 99,29792% berat dan cair sebesar 0,70208% berat dipisahkan menngunakan alat vertical flash 1 (F-01) supaya fase uap dapat terpisah dari fase cairnya. Hasilnya (suhu 130oC dan tekanan 1,15 bar) berupa, fase cair akan keluar sebagai hasil bawah dan fase uap keluar sebagai hasil atas. Fase cair sebagian besar berupa PA (Phthalic Anhydride) dan sedikit MA(Maleic Anhydride), karbon dioksida, karbon monoksida, air dan sisa reaktan (nitrogen, oksigen dan o-xylene). Sedangkan fase uap sebagian besar berupa MA(Maleic Anhydride), karbon dioksida, karbon monoksida, air dan sisa reaktan (nitrogen, oksigen dan o-xylene) dan sebagian kecil PA (Phthalic Anhydride). Karena hasil atas F-01 masih mengandung PA (Phthalic Anhydride), maka hasil atas ini perlu dilakukan proses flashing kembali yaitu dalam vertical flash 1 (F-02). Tetapi, sebelum masuk ke dalam F-02, campuran uap ini perlu dikondensasi dalam kondensor E-03. Keluar dari kondensor E-03, hasil reaksi berupa campuran cair-uap pada suhu 65oC dan tekanan 1,1 bar dan memiliki konsentrasi uap sebesar 99,71897% berat. Selanjutnya, campuran masuk ke dalam vertical flash 1 (F-02). Hasilnya (suhu 65oC dan tekanan 1,1 bar) berupa, fase cair akan keluar sebagai hasil bawah dan fase uap keluar sebagai hasil atas. Fase cair sebagian besar berupa PA (Phthalic Anhydride) dan sedikit MA(Maleic Anhydride), karbon dioksida, karbon monoksida, air dan sisa reaktan (nitrogen, oksigen dan o-xylene). Sedangkan fase uap sebagian besar berupa MA(Maleic Anhydride), karbon dioksida, karbon monoksida, air dan sisa reaktan (nitrogen, oksigen dan o-xylene) dan sebagian kecil PA (Phthalic Anhydride). Hasil atas F-02 bersama dengan hasil atas Phthalic Anhydride Stripper (D-02) diumpankan menuju Maleic Anhydride Srcubber (D-01). Sedangkan hasil bawah F-01 dan hasil bawah F-02 masuk ke dalam mixer untuk dicampur dan selanjutnya akan diproses pada proses stripping.
2) Scrubbing
Hasil atas F-02 bersama dengan hasil atas Phthalic Anhydride Stripper (D-02) diumpankan menuju Maleic Anhydride Srcubber (D-01) dengan dicampur terlebih dahulu di dalam mixer. Campuran keluar mixer berupa uap pada suhu 65oC dan tekanan 1,1 bar, masuk menuju Maleic Anhydride Srcubber (D-01). Di dalam alat ini, fraksi berat dalam umpan diabsorpsi dengan air (laju alir 30.405 kg/jam) sehingga keluar sebagai hasil dasar scrubber dalam fase cair. Sedangkan fraksi ringan dalam umpan keluar sebagai hasil atas scrubber dalam fase uap (off gas). Hasil bawah scrubber berupa produk samping yaitu larutan Maleic Acid (larutan Maleic Anhydride dalam air). Sedangkan hasil atas scrubber berupa off gas (gas nitrogen, gas oksigen, gas o-xylene dan sedikit PA (Phthalic Anhydride) dan MA(Maleic Anhydride)).


3) Stripping
Hasil bawah F-01 dan F-02 masuk ke dalam mixer untuk dicampur dan selanjutnya dipompa menggunakan pompa P-02 menuju Phthalic Anhydride Stripper (D-02). Umpan masuk ke dalam stripper berupa fasa cair pada suhu 112,2156oC dan tekanan 1,115 bar. Umpan ini sebagian besar berupa PA (Phthalic Anhydride) dan sedikit MA(Maleic Anhydride), karbon dioksida, karbon monoksida, air dan sisa reaktan (nitrogen, oksigen dan o-xylene). Pada stripper ini, umpan dipisahkan berdasarkan titik didih masing – masing komponen murninya. Hasil atas kolom stripper keluar berupa fase uap pada suhu 207,0423oC dan tekanan 1,115 bar. Hasil atas berupa sebagian besar MA(Maleic Anhydride), karbon dioksida, karbon monoksida, air dan sisa reaktan (nitrogen, oksigen dan o-xylene) dan sedikit PA (Phthalic Anhydride). Hasil atas ini di-recycle menuju menuju Maleic Anhydride Srcubber (D-01). Sedangkan hasil bawah kolom Stripper keluar berupa fasa cair pada suhu 289,6841oC dan tekanan 1,165 bar. Hasil bawah berupa sebagian besar PA (Phthalic Anhydride) dan sedikit MA(Maleic Anhydride). Hasil bawah ini merupakan produk utama yaitu PA (Phthalic Anhydride) cair. Jika produk yang diinginkan berupa PA (Phthalic Anhydride) uap, maka hasil bawah ini dialirkan menuju heat exchanger E-04 untuk diuapkan sebagai produk PA (Phthalic Anhydride) uap pada suhu 295oC tekanan 0,865 bar.



BAB III
TABEL NERACA MASSA HASIL RANCANGAN


Tabel Neraca Bahan Total Pembuatan Phthalic Anhydride Dengan Proses Oksidasi

BAB V

Jumat, 19 Juni 2009

Teori miers

TEORI MIERS
Teori Miers adalah suatu teori tentang proses supersaturasi dengan pendinginan tanpa penguapan yang dikemukakan oleh Miers. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Miers menyatakan bahwa proses supersaturasi dengan pendinginan dapat terjadi melalui 2 cara yaitu :
1. Primary Homogen Nukleasi
Pada proses pembuatan supersaturasi (larutan lewat jenuh) dengan pendinginan tanpa penguapan, jika thick liquor (larutan kental) hasil evaporasi masuk ke dalam kristalisator lalu mengalami penurunan suhu (akibat proses pendinginan) maka penurunan suhu menyebabkan thick liquor mencapai konsentrasi maksimal. Dan pada kondisi tersebut maka thick liquor mulai membentuk inti kristal. Pembentukan kristal pada larutan yang lebih murni dan proses kristalisasi ini terjadi tanpa adanya pembibitan (seeding) maka kristal yang terbentuk disebut Primary Homogen Nukleasi. Primary Homogen Nukleasi (Nukleasi primer homogen ) adalah suatu nukleasi (pembentukan pertikel-partikel pada fase baru di dalam fase yang telah ada jika fase tersebut homogen dan lewat jenuh) yang terjadi jika partikel padat asing tidak mempengaruhi proses nukleasi dan pembentukan inti tidak dipengaruhi oleh kristal makroskopis yang sudah ada di dalam magma. Proses Nukleasi Homogen Primer dapat digambarkan sebagai berikut :
Konsentrasi zat terlarut Keterangan :
D AB = kurva kelarutan
B EF = proses pembentukan inti kristal
CD = kurva supersaturasi F E
C
A G
Temperatur
Jika suatu material berada pada titik E dengan temperatur dan konsentrasi tersebut, maka pendinginan material tersebut menimbulkan meningkatnya zat terlarut dan mulai terbentuknya kristal. Jika larutan yang dikristalisasi ini berupa larutan murni, maka tidak ada partikel padat asing yang mempengaruhinya. Hal ini menyebabkan kristal tidak akan terbentuk sebelum pendinginan terjadi secara cepat pada kurva kelarutan. Setelah terbentuk inti kristal dan terjadi pertumbuhan maka konsentrasi zat terlarut akan turun. Pada primary homogen nukleasi jika viskositas larutan umpan tinggi, maka diperlukan konsentrasi yang tinggi untuk membentuk nukleasi primer yang homogen. Hal ini tidak efektif sehingga perlu adanya suatu proses supersaturasi dengan pendinginan yang menggunakan pembibitan (seeding) untuk menghemat penurunan suhu (ΔT).
2. Secondary Nukleasi
Merupakan suatu proses pembentukan nukleasi dengan menggunakan bibit (seed) yang dicampurkan ke dalam umpan untuk mempercepat supersaturasi dan menghemat penurunan suhu (ΔT).
Konsentrasi zat terlarut Keterangan :
D AB = kurva kelarutan
F EF = kurva dengan penambahan seed
G H B CD = kurva supersaturasi C I H = terbentuknya inti kristal
E
A
T1 T2
Temperatur
Pembuatan keadaan supersaturasi dengan pendinginan setelah melalui kurva AB sampai di titik G terbentuk inti kristal. Dengan adanya seeding maka terbentuknya inti kristal terjadi pada titik H. Hal ini dapat menghemat penurunan suhu.
Pada proses kristalisasi ada 2 jenis kristal yang terbentuk yaitu :
Kristal halus / kecil
Terjadi jika pada proses pendinginan pada pembuatan supersaturasi kecepatan turunnya suhu berlangsung cepat, sehingga inti kristal yang terbentuk banyak dan waktu pertunbuhan relatif cepat.
Kristal besar
Terjadi jika pada proses pendinginan pada pembuatan supersaturasi kecepatan turunnya suhu berlangsung lambat, sehingga inti kristal yang terbentuk sedikit dan waktu pertumbuhan relatif lama .

Reduksi Limbah cair Chromium

REDUKSI DAN RECOVERY KROMIUM (VI)
DALAM LIMBAH CAIR INDUSTRI


PENDAHULUAN
Pencemaran yang diakibatkan oleh logam berat merupakan pencemaran yang disoroti oleh masyarakat. Hal ini karena dalam konsentrasi yang kecil saja, logam berat dapat menghasilkan tingkat keracunan yang tinggi pada makhluk hidup. Selain itu logam berat juga dapat terakumulasi dalam rantai makanan.
Di alam terdapat 13 elemen logam berat yang merupakan elemen utama polusi yang berbahaya, salah satunya adalah logam krom bervalensi VI. Di Indonesia, logam krom (VI) termasuk dalam kategori limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (limbah B3). Senyawa kromium (VI) termasuk senyawa logam yang paling banyak digunakan dalam industri karena kemampuan oksidasinya yang kuat dan menghasilkan warna yang tahan lama. Tetapi jika senyawa kromium (VI) terbuang ke lingkungan dan masuk ke dalam tubuh makhluk hidup maka akan menimbulkan efek yang sangat berbahaya karena Cr (VI) bersifat karsiogenik. Oleh sebab itu limbah cair yang mengandung senyawa kromium (VI) harus diolah dengan cepat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Cara yang paling tepat dalam menangani limbah cair yang mengandung logam berat seperti kromium (VI) adalah dengan cara reduksi dan pemulihan / perolehan kembali. Perolehan kembali kromium dari limbah cair untuk digunakan kembali dapat memberikan keuntungan yaitu meminimasi kandungan polutan dalam air limbah, juga mengurangi biaya pembelian bahan kimia. Sedangkan reduksi kromium dilakukan supaya mengurangi kandungan kromium (VI) dalam air limbah.
Kromium adalah logam kristalin berwarna putih, tidak begitu liat (keras). Logam ini melebur pada suhu 17650 C. Dalam larutan air, kromium membentuk 3 jenis ion, yaitu :
1. Kation kromium (II) atau disebut kromo Cr2+
Merupakan ion yang diturunkan dari senyawa CrO. Larutan dengan ion Cr2+ menghasilkan larutan biru. Ion ini agak tidak stabil karena merupakan reduktor kuat bahkan ion ini perlahan-lahan mampu menguraikan air membentuk hidrogen.
2. Kation kromium (III) atau disebut kromi Cr3+
Ion ini stabil dan diturunkan dari senyawa dikromium trioksida Cr2O3. Dalam larutan, ion ini berwarna hijau atau lembayung.
Þ Berwarna hijau jika terdapat kompleks [Cr(H2O)5Cl]2+ {pentakuomonoklorokromat} atau kompleks [Cr(H2O)4Cl2]+ {tetrakuodiklorokromat}.
Þ Berwarna lembayung jika terdapat ion heksakuokromat(III) [Cr(H2O)6]3+
3. Anion Kromat CrO42- dan anion dikromat Cr2O72-
Anion kromium adalah hexavalent dengan keadaan oksidasi +6. Ion kromat CrO42- berwarna kuning / orange dan ion dikromat Cr2O72- berwarna jingga.(Arthur Vogel, 1985).
Umumnya pengolahan limbah cair yang mengandung bahan berbahaya seperti logam berat adalah dengan pengolahan secara kimia. Pengolahan ini termasuk reaksi redoks (reduksi-oksidasi) ataupun dengan proses ion exchanger.
Recovery / perolehan kembali kromium merupakan cara yang tepat untuk mengatasi limbah yang mengandung krom. Recovery tidak saja dimaksudkan untuk mengurangi/menyingkirkan krom dalam air limbah tetapi juga diharapkan agar krom dapat didaur ulang (recycle) ke proses. Metoda-metoda yang sudah dilakukan untuk merekoveri krom dari air limbah meliputi : ion exchanger, osmosa balik, elektrodialisis dan lain-lain. Namun, semua metoda ini memiliki kelemahan yaitu : biaya capital dan opersional untuk system ini relatif mahal serta sulit dirancang secara matematis.
Suatu limbah cair dalam industri terutama industri finishing logam mengandung kromium berupa anion yaitu ion kromat CrO42-. Ion kromat ini menurut Arthur Vogel, 1985 mampu dengan mudah berubah menjadi ion dikromat Cr2O72- bila ion kromat bereaksi dengan asam. Jadi ion kromat bersifat stabil bila dalam suasana basa dan netral. Kedua ion ini (kromat dan dikromat) merupakan oksidator kuat dimana ion ini akan mengalami reduksi (penurunan bilangan oksidasi).
Reaksi : 2 CrO42- + 2 H+ Cr2O72- + H2O

REDUKSI KROMIUM (VI)
Kromium (VI), Cr6+ dalam limbah cair berupa senyawa H2CrO4 (berwarna kuning / orange). Reduksi kromium (VI) dilakukan dengan proses redoks (reduksi-oksidasi) dimana senyawa kromat CrO42- sebagai oksidator yang mengalami penurunan bilangan oksidasi dari Cr6+ menjadi Cr3+. Pertimbangan mengapa Cr6+ harus direduksi menjadi Cr3+ bukan Cr2+ karena ion kromo, Cr2+ bersifat agak stabil dan merupakan reduktor kuat, sehingga bila reduksi kromium (VI) menjadi kromium (II) maka senyawa yang dihasilkan mampu mengalami oksidasi lagi menjadi kromium (VI).
Langkah yang harus dilakukan untuk mereduksi kromium (VI) dalam limbah cair industri melalui proses redoks (reduksi-oksidasi) ada 2 yaitu :
1. Reaksi redoks
Dalam reaksi ini memerlukan oksidator dan reduktor.
2. Reaksi pengendapan senyawa Cr3+
Reaksi ini membutuhkan senyawa yang mampu membentuk endapan senyawa Cr3+.
Bahan yang Digunakan
Bahan yang diperlukan untuk reaksi redoks yaitu antara lain :
Zat reduktor
Reduktor yang digunakan ada 3 pilihan yaitu:
gas sulfur dioksida [SO2(g)] yang akan membentuk Asam sulfit H2SO3 bila dilarutkan ke dalam air.
larutan Sodium bisulfit [Na2SO3(aq)]
Serbuk sodium metabisulfat
Zat penyebab suasana asam [H2SO4]
Bahan yang diperlukan untuk reaksi pengendapan senyawa Cr3+
Larutan NaOH(aq)
Alat yang digunakan
Alat yang digunakan untuk mereduksi kromium (VI) yaitu berupa reaktor dengan agitasi untuk proses redoks, tangki-tangki reaktan, pHmeter, OPR (oxydation reduction potensiometry / potensiometer redoks) dan control valve (valve yang dilengkapi aktuator untuk sistem kendali).
Mekanisme proses
Proses reduksi kromium (VI) bermula dengan mengalirkan limbah cair mengandung Cr6+ sebagai larutan H2CrO4 (influent) menggunakan pompa menuju reaktor pengasaman. Di dalam tangki pengasaman ini influent dikontrol keasamannya pada pH = 2,5. Zat penyebab suasana asam berupa larutan H2SO4. Kemudian influent dialirkan menuju reaktor redoks. Dalam proses ini memerlukan OPR yang dikendalikan pada tegangan sekitar V = - 300mV. Ke dalam reaktor redoks dengan agitasi dimasukkan zat reduktor berupa gas SO2 yang dilarutkan ke dalam air sehingga menjadi larutan H2SO3(aq). Setelah proses redoks maka dihasilkan senyawa larutan Cr2(SO4)3(aq). Kemudian larutan ini dimasukkan ke dalam reaktor pengendapan dimana ke dalam reaktor ini dialirkan larutan NaOH untuk mengendapkan larutan Cr2(SO4)3(aq). Hasil dari reaktor ini berupa endapan Cr(OH)3↓ dan senyawa Na2SO4(aq) . Hasil ini dijaga supaya berada pada pH = 8 – 8,5. Endapan Cr(OH)3 adalah sludge yang akan keluar. Sedangkan larutan Na2SO4(aq) akan keluar bersama air sebagai efluent.
Blok Diagram
1
4
pH
5
6
Penampung
OPR
3
2






effluent

Influent 7 sludge

Keterangan :
1. tangki larutan H2SO4(aq)
2. tangki larutan H2SO3(aq)
3. tangki larutan NaOH(aq)
4. reaktor agitasi untuk pengasaman
5. reaktor agitasi untuk reaksi redoks
6. reaktor agitasi untuk reaksi pengendapan
7. pompa

Mekanisme Reaksi
Mekanisme reaksi yang terjadi dalam reduksi kromium (VI) yaitu :
Reaksi Pengasaman
Reaksi ini dilakukan supaya proses redoks berjalan dalam suasana asam (pH = 2,5). Reaksi ini bermula dari larutan H2CrO4(aq) berwarna orange / kuning direaksikan dengan larutan H2SO4(aq) sehingga terjadi senyawa H2Cr2O7(aq) berwarna jingga. Senyawa inilah yang berperan sebagai oksidator (mengalami reduksi) dalam reaksi redoks. Reaksi ini menurut Arthur Vogel, 1985 adalah sebagai berikut :
2H2CrO4(aq) + H2SO4(aq) H2Cr2O7(aq) + H2O(l) + H2SO4(aq)
orange pH=2,5 jingga
Reaksi Redoks
Reaksi ini bermula dari gas SO2 dilarutkan ke dalam air sehingga menghasilkan larutan H2SO3(aq). Senyawa inilah yang berperan sebagai reduktor (mengalami oksidasi). Kemudian senyawa H2Cr2O7(aq) hasil dari reaksi pengasaman akan berperan sebagai oksidator dalam reaktor agitasi redoks. Reaksi redoks ini berjalan dalam suasana asam (oleh adanya H2SO4(aq)). Reaksi yang terjadi yaitu :
Mula- mula : SO2(g) + H2O(l) → H2SO3(aq)
Maka reaksi redoks :
Oksidasi : 3 SO32-(aq) + 3 H2O(l) → 3 SO42-(aq) + 6 H+ + 6e
Reduksi : Cr2O72-(aq) + 14 H+(aq) + 6e → 2 Cr3+(aq) + 7 H2O(l)
Redoks : 3 SO32-(aq) + Cr2O72-(aq) + 8 H+(aq) → 2 Cr3+(aq) + 4 H2O(l) +3 SO42-(aq)
Maka hasil reaksi redoks secara lengkap yaitu :
3 H2SO3(aq) + H2Cr2O7(aq) + 8 H2SO4(aq) → Cr2(SO4)3(aq) + 4 H2O(l) + 8 H2SO4(aq)
Jingga hijau
Reaksi Pengendapan
Reaksi ini berjalan pada kondisi operasi pH = 8 = 8,5. Reaksi ini terjadi antara senyawa Cr2(SO4)3(aq) dengan NaOH(aq) sehingga membentuk endapan Cr(OH)3(s) ↓ berwarna hijau.
Reaksi : Cr2(SO4)3(aq) + 6 NaOH(aq) Mendidih 2 Cr(OH)3(s) ↓ + 3 Na2SO4(aq)
hijau pH=8 – 8,5 hijau
Kondisi operasi lain yaitu bahwa reaksi ini harus dengan dididihkan dan penambahan NaOH harus sedikit karena jika penambahan berlebih NaOH dan dalam kondisi dingin menyebabkan endapan Cr(OH)3(s) ↓ akan larut dengan mudah dan akan terbentuk natrium tetrahidroksokromat (III) Na[Cr(OH)4](aq) hijau.
Reaksi : Cr2(SO4)3(aq) + 8NaOH(aq) berlebih dingin 2Na[Cr(OH)4](aq) + 3Na2SO4(aq)
Hijau pH=8 – 8,5 hijau


RECOVERY KROMIUM (VI)
Recovery kromium dilakukan dengan proses ion-exchanger dimana limbah cair yang mengandung garam kromium (VI) akan dihilangkan kandungan ion kromat CrO42- dan ion logam Ca2+ (penyebab kesadahan) sehingga air limbah akan bebas dari garam kromium (VI). Keuntungan yang bisa diperoleh yaitu :
Air limbah dapat digunakan kembali dalam industri misalnya sebagai air pendingin, air umpan boiler ataupun air proses.
Kandungan ion CrO42- dapat direcovery kembali dengan cara evaporasi supaya konsentrasi ion kromat menjadi lebih besar. Hasil ini dapat digunakan lagi misalnya sebagai pewarna yang tahan lama pada industri.
Tingkat kesadahan (kandungan mineral) dalam air dapat dihilangkan sehingga air hasil ion-exchanger akan bebas dari logam penyebab kerak (scalling).
Mekanisme Proses dan Mekanisme Reaksi
Proses yang terjadi pada proses ion-exchanger yaitu limbah cair yang mengandung ion kromium (VI) dipompa untuk masuk ke dalam tangki resin kation. Di dalam tangki resin kation limbah (influent) diabsorbsi kandungan ion kation (Ca2+ atau Mg2+) sehingga air limbah yang keluar dari tangki resin kation sudah bebas dari ion logam bervalensi 2 tersebut. Kemudian air .limbah dialirkan menuju tangki resin anion untuk dihilangkan kandungan ion CrO42- dari air limbah sehingga hasilnya berupa air limbah yang bebas kandungan ion logam dan ion kromat. Kemudian air limbah mengalami proses demineralisasi dan penjernihan. Di dalam tangki resin kation terdapat zat H2SO4(aq) sebagai regenerasi resin kation. Di dalam tangki resin ini logam Ca2+ akan diikat oleh ion SO42- (resin aktif ) sehingga hasilnya berupa senyawa CaSO4(aq)­ yang akan tetap dalam tangki resin kation dan H2O(l). Sedangkan di dalam tangki resin anion terdapat zat NaOH(aq) sebagai regenerasi resin anion. Di dalam tangki resin anion ini ion CrO42- akan diikat oleh resin aktif [Na+] sehingga hasilnya berupa larutan Na2CrO4(aq) yang akan tetap tinggal dalam tangki resin anion dan H2O(l). Kemudian air hasil ion-exchanger akan keluar dan dapat digunakan lagi untuk industri. Sedangkan senyawa Na2CrO4(aq) akan diolah / direcovery dengan proses evaporasi supaya konsentrasi menjadi lebih besar. Setelah itu barulah senyawa ion kromat dapat digunakan lagi untuk industri.
Reaksi yang terjadi yaitu :
Reaksi dalam tangki resin kation
Reaksi pemecahan garam : H2SO4(aq) + CaCrO4(aq) ↔ H2CrO4(aq) + CaSO4(aq)
Reaksi netralisasi : H2SO4(aq) + Ca(OH)2(aq) ↔ CaSO4(aq) + 2H2O(l)
Reaksi dalam tangki resin anion
Reaksi pemecahan garam : 2NaOH(aq) + CaCrO4(aq) ↔ Na2CrO4(aq) + Ca(OH)2(aq)
Reaksi netralisasi : 2NaOH(aq) + H2CrO4(aq) ↔ Na2CrO4(aq) + 2H2O(l)



1


2
3
6
5
4Blok Diagram







7



Influent 7 sludge proses demineralisasi

sludge


Keterangan :
1. tangki resin kation (berisi regenerasi kation [H2SO4])
2. tangki resin anion (berisi regenerasi anion [NaOH])
3. Aerator
4. tangki penampung air sementara
5. tangki pelunakan air
6. tangki clarifier (pengolahan air sanitasi)
7. pompa

Biodegradasi Fenol oleh Pseudomonas

REKAYASA BIODEGRADASI FENOL OLEH PSEUDOMONAS AERUGINOSA



Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Teknologi Bioproses









Oleh:
Rustamsjah, Mahasiswa pasca sarjana S3 ITB
Disusun ulang oleh :
Nama : Novembri Cucu S. A
NIM : L0C 005 257


PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA
PROGRAM DIPLOMA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2007/2008
Abstrak
Biodegradasi fenol dengan kultur murni Pseudomonas aeruginosa ATCC27833 yang terlebih dahulu diadaptasikan bertingkat pada konsentrasi komposisi nutrisi yang berbeda dan dengan konsentrasi fenol sebesar 500 ppm. Analisa hasil degradasi ditentukan secara kolorimetri dengan menggunakan 4-aminoantipirin dan Kalium Ferrisianida sebagai oksidator pada pH 10,2 untuk penentuan sisa fenol. Diketahui bahwa kultur murni Pseudomonas aeruginosa ATCC27833 setelah diadaptasi tiga kali selama 10 hari mampu mendegradasi fenol sebesar 495,88 ppm. Penelitian biodegradasi ini ddilakuakn pada skala laboratorium, yang difokuskan pada pemecahan komponen tunggal dengan menggunakan kultur murni. Fenol merupakan racun protoplasmic yang toksik terhadap segala jenis sel. Kadar fenol yang tinggi akan mengendapkan protein, sedangkan kadar rendah akan mendenaturasi protein tanpa koagulasi. Biodegradasi fenol adalah terjadinya pengrusakan cincin aromatic oleh mikroba pada proses anaerob dan aerob. Senyawa aromatic baik secara total maupun sebagian dapat didegradasi oleh mikroorganisme tergantung pada jumlah cincin dan jenis substituennya.



















KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ‘ Rekayasa Biodegradasi Fenol oleh Pseudomonas Aeruginosa ATCC27833’. Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Teknologi Bioproses yang sedang diampu oleh penulis. Makalah ini dikutip dari mahasiswa pasca sarjana S3 Institut Pertanian Bogor, Rustamsjah.

Selain itu penulis mengucapkan terimakasih atas kerjasama dan bantuan yang telah terjalin sehingga penelitian dapat berjalan lancar, kepada :
1. Ir. H. Syeh Qomar, M.T. selaku Ketua Program Diploma Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
2. Ir. Margaretha Tuti Susanti, M.P. selaku Ketua Program Studi Diploma Teknik Kimia dan sebagai Dosen Pengampu Mata Kuliah Teknologi Bioproses.

Adapun penulis berharap laporan penelitian ini bermanfaat untuk memberi motivasi generasi muda untuk mulai berkarya dan berpikir kritis terhadap perkembangan dan kemajuan IPTEK di Indonesia.

Semarang, 31 Desember 2007

Penulis







DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………..………..i
Abstrak ……………………………………………………………….……….ii
Kata Pengantar ...……………………………………………………………..iii
Daftar Isi … …………………………………………………………………..iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………….…………… 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………….. 1
1.2 Perumusan dan Pembahasan Masalah ………………………………. 1
1.3 Tujuan dan Manfaat …………………………………………………. 1
BAB II METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………. 2
2.1 Material ……………… ……………………………………………… 2
2.2 Instrumentasi Penelitian ……………………………………………… 2
2.3 Metodologi ……….. ………………………………………………… 3
BAB III HASIL PENELITIAN ……………………………………….……. 5
3.1 Diskripsi dan Pembahasan Hasil Penelitian ……………………….... 5
BAB IV PENUTUP …………………… ..…………………………….……. 8
4.1 Kesimpulan ………… ………………………………………….……. 8
4.2 Saran ………………………………………………………………….. 8
Daftar Pustaka







BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada industri yang berkembang cepat, limbah rumah tangga yang semakin berlimpah ruah berakibat pencemarn dan dapat dipastikan akan meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun sejumlah usaha telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini, namun kesadaran masyarakat yang masih rendah merupakan kendala utama, sehingga tidak berjalannya beberapa program pemerintah dalam menanggulangi limbah tersebut.
Fenol dan derivatnya meerupakan polutan yang sangat berbahaya di lingkungan karena bersifat racun dan sulit didegradasi oleh organisme pengurai. Fenol merupakan senyawa kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan iritasi jaringan, kulit, mata dan mengganggu pernapasan manusia. Nilai ambang batas senyawa fenol untuk baku mutu air minum sebesar 0,001 ppm, mutu buangan air industri sebesar 0,3 ppm serta di lingkungan para pekerja gas fenol adalah 0,3 ppm. Fenol di alam mengalami transformasi kimia, biokimia dan fisika. Namun, proses alami saja tidak cukup untuk menuntaskan permasalahan yang timbul.

1.2 Perumusan dan Pembahasan Masalah
Adapun permasalahan yang hendak diangkat penulis yaitu bagaimana senyawa fenol dan derivatnya mampu didegradasi melalui penelitian dengan skala laboratorium yang difokuskan pada pemecahan komponen tunggal dengan kultur murni.

1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan maksud penelitian biodegradasi fenol yaitu untuk mencoba mengurangi bahaya yang ditimbulkan oleh fenol dengan cara membentuk senyawa hasil degradasi yang tidak membahayakan atau menimbulkan racun di alam.




BAB II MATERIAL DAN METODOLOGI

2.1 Material
Material yang digunakan pada penelitian biodegradasi fenol ini adalah Pseudomonas aeruginosa ATCC 27833. Adapun material untuk media biakan Agar miring bakteri yaitu antara lain:
1. ekstrak ragi 1,25 gram 5. glukosa anhidrat 0,6 gram
2. pepton 1,25 gram 6. NaCl 0,4 gram
3. ekstrak daging 2,5 gram 7. air destilasi 100 ml
4. tepung agar 2 gram
Material untuk perlakuan adaptasi bertingkat Pseudomonas aeruginosa ATCC 27833 yaitu
ADAP
KOMPOSISI NUTRISI


TASI
Ekstrak Ragi
Ekstrak Daging
Pepton
Glukosa
NaCl
Air Destilasi
Fenol
KE-
(gr)
(gr)
(gr)
(gr)
(gr)
(ml)
(ppm)
I
1,25
2,5
1,25
0,6
0,4
100
500
II
1
2
1
0,5
0,3
100
500
III
0,75
1,5
0,75
0,4
0,2
100
500
IV
0,5
1
0,5
0,3
0,1
100
500
Selain material media biakan bakteri, digunakan juga material untuk analisa, yang terdiri dari :
1. 4-aminoantipirin
2. dikalium hidrogen fosfat
3. kalium dihidrogen fosfat
4. kalium ferrisianida
5. ammonium hidroksida (NH4OH) 0,5 M
6. air destilasi

2.2 Instrumentasi Penelitian
Alat-alat penelitian yang digunakan antara lain :
1. Erlenmeyer 6. Bekker gelas 11.Pipet
2. Autoclave 7. Shaker 12. Kawat ose
3. Bunsen 8. kapas 13. Tabung reaksi
4. Pengaduk 9. Alumunium foil 14. sentrifuge
5. Gelas ukur 10. Alat suntik 15. neraca
2.3 Metodologi
A. Pembuatan Media Pembiakan Agar miring
1. Melarutkan hingga homogen di dalam bekker gelas 2,5 gram ekstrak daging; 1,25 gram ekstrak ragi (yeast); 1,25 gram pepton; 0,4 gram NaCl; 0,6 gram glukosa dalam 100 ml air destilasi.
2. Menambahkan 2 gram tepung agar, lalu memanaskan larutan di atas api hingga agar larut secara homogen.
3. Memasukkan larutan ke dalam tabung reaksi sebanyak 3-5 ml, lalu menyumbat mulut tabung reaksi dengan kapas yang telah dibungkus oleh alumunium foil.
4. Memasukkan tabung reaksi ke dalam autoclave untuk disterilkan.
5. setelah proses sterilisasi, tabung reaksi dimiringkan dengan kemiringan ± 300 dari arah horizontal.
6. Mendinginkan medium agar miring hingga kental.
B. Inokulasi Biakan Murni Pseudomonas eeruginosa ATCC27833
1. Memanaskan ujung kawat ose dengan nyala api reduksi dari Bunsen sampai berwarna merah pijar.
2. Memanaskan ujung mulut tabung reaksi berisi medium agar miring di atas nyala api Bunsen.
3. Mengambil sedikit biakan murni Pseudomonas aeruginosa dengan kawat ose pijar, lalu menggesekkan pada medium agar miring dari bawah ke atas.
4. Memanaskan mulut tabung agar miring yang telah diinokulasi di atas nyala api lalu menutupnya dengan sumbat.
C. Penentuan Konsentrasi Fenol Maksimum sebagai Substrat Pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa ATCC27833
1. Melarutkan Biakan Pseudomonas aeruginosa kedalam larutan fenol dengan konsentrasi 100 ppm; 150 ppm; 200 ppm; 250 ppm; 300 ppm; 350 ppm; 400 ppm; 450 ppm; 500 ppm; 550 ppm; 600 ppm; 650 ppm; 700 ppm; 750 ppm; 800 ppm; 850 ppm;900 ppm dengan volume tiap tabung reaksi 15 ml.
2. Menginkubasi tiap larutan selama 36 jam.
3. Mengukur konsentrasi tiap tabung reaksi dengan kekeruhannya dengan menggunakan spektronik 20 D pada panjang gelombang 505 nm serta media pertumbuhan fenol tanpa Pseudomonas sebagai larutan blanko.
D. Pembuatan Kurva Pertumbuhan
1. Membuat larutan medium agar miring sebanyak 300 ml, lalu disterilkan di dalam autoclave.
2. Menambahkan ke dalamnya larutan fenol dengan konsentrasi maksimal.
3. Menginokulasi ke dalam medium biakan tersebut Pseudomonas aeruginosa, lalu dibagi menjadi masing-masing 15 ml untuk turbiditas.
4. menginkubasi medium tersebut di dalam shaker.
5. Melakukan pengukuran pertumbuhan pada 0 ; 2; 4; 6 dan 12 jam untuk mengetahui permulaan fas eksponensial. Kemudian dilakukan pengukuran tiap 6 jam.
E. Perlakuan Adaptasi Bertingkat Pseudomonas aeruginosa ATCC 27833
1. Adaptasi Pseudomonas aeruginosa dilakukan sebanyak 4 tingkat yaitu medium biakannya makin berkurang pada tiap tingkatannya sedangkan konsentrasi fenol tetap.
2. Menginkubasi tiap tingkatan adaptasi Pseudomonas aeruginosa selama 24 jam, lalu pengukuran dilakukan tiap 24 jam.
3. mengambil 5ml larutan percobaan tersebut dengan alat suntik steril pada inkubasi 24 jam pertama, lalu diadaptasikan pada medium kedua. Kemudian diinkubasi lagi selama 24 jam.
4. Mengulangi kegiatan no. 3 pada medium ketiga dan keempat.
F. Analisa Fenol Hasil Degradasi Tiap 24 jam selama 10 hari
1. Mengencerkan 1ml cuplikan menjadi 100 ml, lalu menambahkan ke dalamnya 2,5 ml NH4OH 0,5 M. Mengaduknya hingga homogen.
2. Menambahkan larutan penyangga fosfat pH 6,8 sehingga larutan menjadi pH 10,2.
3. Menambahkan 1ml 4-aminoantipirin 2% dan kalium ferrisianida 8%, sehingga larutan berwarna merah. Lalu mengaduknya hingga 15 menit.
4. Pengukuran dengan metode kolorimetri setelah pemisahan biomassa dengan sentrifugae 3000 rpm. Pengukuran dengan alat dan dibaca serapannya pada panjang gelombang yang telah didapatkan.
5. Melakukan kegiatan 1 sampai dengan 4 pada larutan blanko.



BAB III HASIL PENELITIAN

3.1 Diskripsi dan Pembahasan Hasil Penelitian
Penentuan konsentrasi fenol maksimum sebagai substrat pertumbuhan pseudomonas aeruginosa ATCC27833 didapat data bahwa :

Dari data penelitian terlihat bahwa Pseudomonas aeruginosa ATCC2783 dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada konsentrasi fenol 500 ppm. Pada kurva petumbuhan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27833 terlihat bahwa pada jam ke 0-4 pertumbuhan sangat lambat. Keadaan ini karena adanya adaptasi terhadap lingkungan dan disebut fase lag. Pada fase ini reaksi antara enzim dan substrat akan terjadi setelah konfirmasi enzim sesuai dengan substratnya.(Stiabudi, 1995). Kurva pertumbuhan yang terjadi adalah :
Pada kurva terlihat bahwa Pseudomonas aeruginosa mulai dapat beradaptasi pada inkubasi antara 10-36 jam, yang terlihat dari semakin tinggi kecepatan pertumbuhan sel dan diikuti dengan konsumsi mikroba terhadap nutrient yang berakibat nutrisi pada medium semakin berkurang. Fase ini disebut fase logaritmit yang merupakan suatu garis lurus hasil antara ln X (massa sel) terhadap waktu t. selama fase ini pertumbuhan cairan yang berisi komponen kimia terus menerus dikonsumsi dan sintesa yang dihasilkan dalah produk metabolisme yang terjadi serta berakibat lingkungan menjadi tidak stabil. Pada inkubasi 36-45 jam terlihat pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa menjadi tetap. Hal ini berarti jumlah jumlah sel yang mati sama dengan jumlah sel yang berkembangbiak. Pada inkubasi di atas 45 jam jumlah sel Pseudomonas aeruginosa menjadi berkurang karena kekurangan konsumsi makanan sehingga terjadi penurunan aktifitas sel. Fase ini disebut fase kematian.
Adaptasi Pseudomonas aeruginosa pada medium yang mengandun konsentrasi fenol 500 rpm bertujuan untuk menginduksi enzim pendegradasi fenol tersebut. Enzim ini diharapkan menghasilkan produk yang tidak membahayakan lingkungan. Menurut Gibson, 1990. enzim pendegradasi contohnya monooksigenase; 2,3 dioksigenase dan dehidrogenase yang berperan dalam reaksi berikutnya. Hasil degradasi adalah asam asetat. Asam asetat merupakan senyawa yang tidak berbahaya karena menurut Gibson (1990) dan Wackett (1998) berperan dalam siklus krebs dan bereaksi dengan CoA membentuk aseti CoA dalam rantai pernapasan. Reaksi pernapasan adalah menghasilkan energi, sehingga jelas bahwa degradasi fenol dengan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27833 menghasilkan senyawa tidak berbahaya. Hasil analisa fenol hasil dengradasi ditujukan untuk menghitung fenol sisa. Dari hasil didapat panjang gelombang maksimum sebesar 505 nm. Dari hasil analisaa didapat kurva standar fenol dan ditemukan memiliki persamaan linier Y= 1,345x10-3 X + 3,83x10-2 yaitu terlihat pada grafik dibawah ini :
Dari hasil adaptasi bertingkat sebanyak 3 kali selama 10 hari didapat bahwa konsentrasi fenol 500 ppm dapat didegradasi dengan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27833 sebanyak 495,88 ppm. Sisa degradasi tersisa fenol dengan konsentrasi 4,12 ppm. Tetapi nilai ini masih diatas ambang batas fenol .



BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Degradasi fenol dengan Pseudomonas aeruginosa dapat mengaktifkan enzim pendegradasi sehingga diperoleh produk asam asetat. Hal ini menunjukkan bahwa degradasi ini dapat mengurangi bahaya fenol karena hasil degradasi adalah senyawa yang tidak beracun. Selain itu dengan degradasi fenol ini dapat mendegradasi fenol sebanyak 495,88 ppm dengan 3 kali adaptasi selama 10 hari.
4.2 Saran
Hasil degradasi masih di atas ambang batas fenol sehingga sebaiknya dicobakan strain lain dari Pseudomonas aeruginosa ATCC 27833 atau dengan menggunakan perhitungan yang dinyatakan Uden (1986) tentang modifikasi persamaan Monod.




















DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1990. Lampiran Peraturan Pemerintah RI no. 20. Jakarta.

Gibson. 1990. Microbial Transformation of Aromatic Pollutant. Pergamon Press.

Molin, Goran. 1985. Degradation of Phenol by Pseudomonas putida ATCC 11172. American Society for Microbiology.

Setiabudi. 1995. Degradasi Fenol oleh Pseudomonas aeruginosa. ITS Press.

Wacktett, L.P. 1988. Degradation of Trichloroethylene. Whole Cell Press.

Dikutip dari
Rustamsjah. 2006. Rekayasa Biodegradasi Fenol Oleh Pseudomonas aeruginosa ATCC 27833. Bogor : Rustamsjah @yahoo.co.uk.


Energi alternatif

MENDONGKRAK PENYALAHGUNAAN LIMBAH MINYAK JELANTAH DENGAN TEKNOLOGI TRANS ESTERIFIKASI
oleh : Novembri Cucu Sektiani Agustin (L2C 308 027)

Minyak goreng bekas atau yang sering disebut dengan minyak jelantah merupakan salah satu jenis limbah cair. Pemahaman bahwa minyak jelantah merupakan limbah cair masih dianggap awam bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena dampak dari penyalahgunaan minyak jelantah sebagai bahan pengolah makanan, tidaklah terlihat secara langsung. Padahal perlu diketahui bahwa di dalam minyak jelantah mengandung senyawa – senyawa yang bersifat karsiogenik, yang terjadi selama proses penggorengan seperti senyawa benzene dan peroksida. Senyawa benzene merupakan zat penyebab kanker. Senyawa ini mengandung dioksin yang dapat masuk melalui sel – sel tubuh. Jadi pemakaian minyak jelantah untuk penggorengan makanan yang dikonsumsi manusia, sama bahayanya dengan pemakaian formalin, sejenis bahan pengawet. Selain itu, di dalam minyak jelantah juga terkandung banyak kolesterol. Jika dikonsumsi secara terus – menerus akan menyebabkan penumpukan kolesterol pada pembuluh darah, sehingga muncul gangguan penyakit jantung.
Sementara di Indonesia, penyalahgunaan minyak jelantah masih sangat umum dilakukan dan dianggap bukanlah bentuk penyalahgunaan. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap enteng akan bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan minyak jelantah. Mereka beranggapan bahwa minyak jelantah toh masih bisa digunakan untuk menggoreng. Selain itu mereka masih mengganggap bahwa penyakit yang diderita oleh manusia merupakan takdir. Hal ini sering terlontar dari ungkapan ” kalau memang takdirnya sehat, ya sehat aja dan kalau takdirnya sakit, ya sakit aja”. Apalagi dengan meningkatnya harga minyak goreng baru – baru ini, mengakibatkan semakin sulitnya menghindari tidak menggunakan minyak jelantah sebagai bahan pengolah makanan karena alasan ekonomi. Bagi pedagang gorengan, penggunaan minyak jelantah merupakan bentuk penekanan biaya produksi. Sedangkan bagi ibu – ibu rumah tangga, penggunaan minyak jelantah merupakan bentuk penghematan terhadap pengeluaran keluarga.
Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, permasalahan tentang penyalahgunaan minyak jelantah sebagai bahan pengolah makanan dapat diselesaikan dengan bijaksana. Artinya, masyarakat tidak perlu membuang minyak jelantah begitu saja ke lingkungan untuk mencegah terjadinya gangguan pada kesehatan tetapi masyarakat bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang berguna. Menurut penelitian, minyak jelantah dapat dikonversi menjadi biodiesel melalui teknologi trans esterifikasi. Pada prinsipnya, teknologi trans esterifikasi adalah mengeluarkan gliserin dari minyak jelantah dan mereaksikan asam lemak bebasnya dengan alkohol (misalnya metanol) menjadi alkohol ester dengan bantuan katalis basa. Senyawa alkil ester inilah yang disebut biodiesel (AME = Altfett Methyl Ester).
NaOHH O
H – C – O – C – R1 H
O H – C – OH O
H – C – O – C – R2 + 3 CH3 – OH H – C – OH + 3 CH3 – O – C – R
O H – C – OH
H – C – O – C – R3 H
H
Trigliserida Methanol Gliserin AME

gambar 1. Skema Reaksi Kimia Trans Esterifikasi pada Minyak Jelantah

Teknologi trans esterifikasi ini ternyata bukanlah sesuatu yang sulit. Setiap orang dapat melakukannya dengan mudah. Selain itu, biodiesel yang dihasilkan dapat digunakan sebagai salah satu pengganti minyak solar / minyak diesel, baik untuk bahan bakar transportasi maupun industri. Sedangkan gliserin yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pupuk organik.
Adapun tahapan proses trans esterifikasi secara sederhana untuk skala laboratorium, antara lain :
1. Penyaringan
Penyaringan dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel berukuran besar atau pengotor yang ada pada minyak. Minyak dipanaskan terlebih dahulu pada suhu sekitar 30-35 oC lalu disaring dengan menggunakan saringan kopi atau teh, atau bisa juga menggunakan kain.
2. Penghilangan air
Penghilangan air dalam minyak dilakukan dengan memanaskan minyak pada temperatur 120oC sampai tidak ada lagi gelembung. Lalu minyak tersebut didinginkan.
3. Pengambilan sampel
Sampel dari bahan baku minyak bekas yang telah mengalami proses penghilangan air, diambil 1 mL untuk titrasi.
4. Titrasi
Titrasi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak jumlah NaOH yang harus ditambahkan. Untuk bahan baku minyak baru, langkah titrasi ini tidak diperlukan. Satu mililiter sampel minyak bekas dilarutkan dalam 10 mL isopropil alkohol, kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 %. Larutan ditambahkan dengan indikator fenolftalin beberapa tetes. Volume NaOH yang diperlukan untuk mengubah warna larutan adalah massa NaOH yang diperlukan.
5. Pembuatan Natrium Metoksida
Untuk pembuatan natrium metoksida, 3,0-3,5 gram NaOH diperlukan untuk bahan baku yang berasal dari minyak baru, dilarutkan dalan gelas kimia yang berisi metanol sebanayak 10% dari volume minyak. Sedangkan untuk minyak bekas, ditambahkan dengan jumlah hasil titrasi. Larutan diaduk dengan bantuan pengaduk magnetik (magnetic stirrer).
6. Reaksi
Reaksi berlangsung selama 50-60 menit pada temperatur konstan dengan tahap-tahap yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a) memanaskan minyak pada temperatur 48-55oC dengan penangas parafin.
b) melakukan pengadukan dengan menggunakan motor pengaduk pada kecepatan 500-600 rpm.
c) setelah 50-60 menit, pemanasan dihentikan, tetapi pengadukan tetap diteruskan selama beberapa menit.
7. Pengendapan
Pengendapan gliserin dilakukan dengan cara membiarkan larutan selama 12-20 jam agar terjadi pemisahan antara gliserin dan produk biodiesel. Pengendapan ini dilakukan dalam ruang pemanas atau inkubator pada temperatur diatas 38oC, untuk menjaga agar gliserin tidak memadat.
8. Pemisahan
Pemisahan gliserin dengan biodiesel dilakukan dengan bantuan corong pemisah. Jika sulit untuk dipisahkan, maka semua larutan disertakan untuk reaksi tahap berikutnya.
9. Pencucian
Pencucian ini bertujuan untuk membersihkan produk biodiesel dari kandungan gliserin, sabun, dan pengotor-pengotor lainnya. Pencucian dilakukan dengan cara menambahkan asam asetat pekat dan aquades pada biodiesel, serta dilakukan dengan bantuan udara tekan atau aerasi selama 5-6 jam. Asam asetat pekat ditambahkan sedikit demi sedikit sampai pH biodiesel netral., sedangkan aquades yang ditambahkan sebanyak ± 50 % dari volume biodiesel. Setalah pencucian selama 5-6 jam, larutan dibiarkan selama 12-24 jam sampai air terpisah dari biodiesel. Kemudian dilakukan pemisahan berdasarkan massa jenis dengan menggunakan corong pemisah.
10. Pengeringan
Pengeringan ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan air dalm biodiesel. Biodiesel dipanaskan pada suhu 100oC sampai tidak ada lagi gelembung air. Kemudian biodiesel didinginkan.
Penggunaan biodiesel dari minyak jelantah sebagai bahan bakar alternatif tidaklah berbeda jauh dengan penggunaan bahan bakar diesel fosil.maupun biodiesel dari minyak nabati baru. Biodiesel telah digunakan di beberapa negara, seperti Brazil dan Amerika sebagai pengganti solar. Biodiesel memiliki angka setana yang lebih tinggi dibandingkan solar sehingga titik penyalaannya terjadi pada suhu rendah. Akibatnya biodiesel mampu mengurangi angka detonasi di dalam mesin. Selain itu, biodiesel mampu menurunkan emisi dari mesin diesel yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia seperti emisi SO2, emisi NO (sebesar ±6%), emisi debu dan pertikulat ( ± 40%) serta gas buang dengan kandungan karbohidrat tak terbakar sebesar ± 25%. Keunggulan lain biodiesel adalah bersifat biodegradable (dapat terurai oleh mikroba – mikroba yang terdapat di lingkungan), merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable), memiliki efek pelumasan terhadap mesin, menurunkan koefisien gesek pompa dan melindungi cam-profile pompa serta dapat meningkatkan pembakaran dalam mesin.
Meskipun penggunaan biodiesel memiliki banyak keuntungan, proses konversi minyak jelantah menjadi biodiesel tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Banyak aspek yang perlu dipertimbangakn dalam mengolah minyak jelantah menjadi biodiesel terutama mengenai sifat kimia yang dikandung minyak jelantah. Minyak jelantah yang mengandung asam lemak bebas (FFA = Free Faty Acid) yang tinggi, apabila ingin dikonversi menjadi biodiesel menyebabkan terbentuknya sabun ketika langsung digunakan katalis basa (KOH atau NaOH). Untuk mengurangi kandungan FFA dalam minyak jelantah, sebaiknya sebelum diolah menjadi biodiesel dilakukan proses acid pretreatment. Acid pretreatment biasanya dengan menggunakan katalis asam (HCl atau H2SO4).
Pada skala kecil atau rumah tangga, pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel dapat dilakukan secara sederhana menggunakan peralatan panci, kompor dan alat pengukur suhu. Pengerjaannya dilakukan secara manual dan batch, tinggal menuang minyak jelantah sesuai tahapan pembuatan biodiesel. Namun, dalam skala industri, pembuatan biodiesel dari minyak jelantah tidaklah sesederhana seperti skala kecil. Terlalu banyak resiko yang bisa muncul karena jumlah minyak jelantah yang diolah relatif banyak. Salah satunya, bisa menimbulkan kecelakaan kerja. Pada skala industri, pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel telah dilakukan oleh PT. Bumi Energi Equatorial (BEE) sejak awal 2005. Industri menggunakan reaktor Trans Esterifikasi dengan sistem komputerisasi sebagai alat pengolah biodiesel. Alat ini terdiri dari drum – drum yang dihubungkan dengan pompa, pipa dan valve serta motor yang disertai tangkai pengaduk dan kompor pemanas.
Saat ini, pemanfaatan biodiesel berbahan minyak jelantah sudah mulai digunakan masyarakat. Salah satunya adalah untuk bahan bakar bus Trans Pakuan di Bogor dan juga untuk penggerak generator listrik dan instalasi lain yang memakai mesin diesel di Hotel Salak Bogor. Sayangnya, produksi biodiesel dari minyak jelantah ini belum mampu mencukupi untuk kebutuhan bahan bakar beberapa unit bus Trans Pakuan. Apalagi bila ditinjau dari perbandingan konsumsi bahan bakar menunjukkan, bahwa secara keseluruhan konsumsi biodiesel 10% lebih tinggi dari konsumsi solar. Untuk mengatasi kekurangan minyak jelantah sebagai bahan baku pembuatan minyak jelantah, pemerintah daerah Kota Bogor telah bekerjasama dengan 22 hotel dan restoran, 1 koperasi dan 68 desa untuk mengumpulkan minyak jelantah. Selain itu, untuk merangsang masyarakat mengumpulkan minyak jelantah, Pemerintah Kota Bogor memberikan insentif sebesar Rp. 2000 / liter dengan harapan masyarakat mau berlomba – lomba mengumpulkan minyak jelantah dan dapat mengurangi dampak penyalahgunaan minyak goreng bekas untuk pengolahan makanan. Kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor ini perlu dicontoh dan dikembangkan di seluruh daerah di Indonesia supaya dampak penyalahgunaan minyak goreng bekas untuk pengolahan makanan dapat dikurangi. Selain itu, hal ini dapat menjadi alternatif mengatasi kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) yang diperkirakan semakin lama akan semakin berkurang dan menjadi habis.
Novembri Cucu Sektiani Agustin, mahasiswa Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. ”Konversi Minyak Jelantah ke Biodiesel”. Dalam www.google.co.id. Konversi minyak jelantah ke Bio diesel - Clubbing.htm, 28 November 2007, 12:36 pm.
Budiono, M. 2008. ”Biodiesel Jelantah”. Dalam Media Komunikasi Petani Tani Merdeka, edisi no. 9 Tahun 1 Juli – Agustus 2008.
Suess, Ananta Andy Anggraini. 2008. ”Biodiesel dari Minyak Jelantah”. Dalam www.google.co.id. PT_ Kreatif Energi Indonesia.htm, 19 Oktober 2008.
Wibowo, Cahyo Setyo. 2008. ”Pengaruh Pencampuran Minyak Solar dengan Biodiesel Terhadap Angka Setananya”. Dalam www.google.co.id. tiki-read_article.php.htm, 2 April 2008, 13:59 WITA.

Rabu, 03 Juni 2009

Pembuatan keadaan supersaturasi dengan pendinginan setelah melalui kurva AB sampai di titik G terbentuk inti kristal. Dengan adanya seeding maka terbentuknya inti kristal terjadi pada titik H. Hal ini dapat menghemat penurunan suhu.

Pada proses kristalisasi ada 2 jenis kristal yang terbentuk yaitu :

  1. Kristal halus / kecil

Terjadi jika pada proses pendinginan pada pembuatan supersaturasi kecepatan turunnya suhu berlangsung cepat, sehingga inti kristal yang terbentuk banyak dan waktu pertunbuhan relatif cepat.

  1. Kristal besar

Terjadi jika pada proses pendinginan pada pembuatan supersaturasi kecepatan turunnya suhu berlangsung lambat, sehingga inti kristal yang terbentuk sedikit dan waktu pertumbuhan relatif lama .